quarto.

20 6 1
                                    

“Tidak usah, pak. Bapak presiden sudah menunggu bapak sedari tadi. Katanya ini mendesak.”

Aruna mendecih, “dasar menyusahkan saja.” gumamnya. Tak selang beberapa lama, Haris pun terbangun. Ia bingung melihat saudarinya yang mengintip-intip.

“Kamu sedang apa?” bisik Haris di dekat telinga Aruna. Fokus Aruna buyar sebab bisikan Haris.

Tidak menjawab pertanyaan Haris, Aruna memfokuskan netranya untuk melihat percakapan bapak dan para tentara.

“Pak, kita tidak bisa lama.” desak salah satu tentara yang berada di dekat bapak.

“Tapi, saya malu berhadapan dengan presiden berpenampilan tidak sopan.” bapak tetap kekeh dengan pendiriannya.

Dor.

Baru saja tangan bapak menyentuh gagang pintu kamar, satu tembakan dilepaskan oleh salah satu tentara.

“Menyusahkan saja bapak tua ini.” gumam tentara yang menembak bapak. Aruna terdiam, menutup mulutnya berusaha menahan tangisnya. Haris yang melihat kejadian itu mendekap Aruna dengan erat.

Air mata mereka berdua keluar dengan derasnya. Suara Aruna seakan tercekik. Tak ada yang bisa bersuara. “Aruna.” isak Haris.

“Ris... Bapak... Bapak, Ris...”

Raganya terasa tercambuk. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat bapak terbaring beku di lantai dengan darah bercucuran.

“Angkat dia ke mobil. Ketua bilang dia ingin si tua ini dibawa tak peduli hidup ataupun mati.”

Aruna tidak habis pikir, apa yang orang-orang ini mau. Tidakkah mereka punya hati. Tidakkah mereka tahu bahwa orang yang baru saja mereka tembak adalah seorang ayah.

(˚୨୧。)

Tangis pilunya semakin menjadi ketika orang-orang itu sudah pergi. Aruna berlari ke arah tempat bapak ditembak. Pikirannya benar, sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Kenapa harus bapak sih, Ris? KENAPA?!?” Haris yang tidak tahu-menahu hanya bisa memeluk erat saudarinya sembari berkata, “Sudah, Na. Sudah.”

“Apanya yang sudah?!? Kamu rela orang-orang bejat itu mengambil bapak?!? Tega kamu, Ris!”

“Aruna, bukan begitu maksudku.”

Aruna berlari menuju kamarnya, mengunci dengan rapat dan menangis. Isakan pelan yang berubah menjadi keras, mengekspresikan kemarahannya.

“Mengapa semesta tidak pernah adil di waktu yang tepat.”

“Teruntuk September, maafkan aku. Aku membencimu.”

(˚୨୧。)

Mungkin hanya sedikit yang bisa saya tuliskan agar  menjadi sebuah cerita pendek, jika ada kalimat ataupun kata yang salah, saya minta maaf.

Terima kasih sudah membaca buku karya saya!


—🖤, je.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

riuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang