tres.

24 6 0
                                    

Matahari terlihat lelah hari ini, dia sudah meredupkan cahayanya terganti dengan sinar bulan remang. Jam sudah berhenti di angka sebelas, tapi bapak belum saja pulang.

Aruna yang awalnya biasa saja, semakin panik. Takut terjadi apa-apa oleh bapak. Kepanikan itu tercipta karena ia mendengar berita dari percakapan bapak minggu kemarin bahwa PKI sedang menyusun sesuatu.

Dia tak ingin kejadian naas menimpa bapak. “Run, kamu mau apa daritadi maju mundur terus-terusan.” tanya Haris

“Bapak kok belum pulang ya? Biasanya kalau bapak bilang pulang malem paling larut jam sepuluh. Ini sudah jam sebelas tapi belum pulang-pulang juga.”

“Kamu khawatir, Na?” pertanyaan Haris hanya dijawab anggukan oleh Aruna.

Pikiran Aruna seakan melayang tak jelas, tak tentu arah. Imaji yang memang tak mungkin terjadi serasa asli di otaknya.

“Udahlah, Na. Lebih baik tidur daripada nunggu bapak. Nanti beliau pulang sendiri.” selang beberapa detik, suara bapak menggema.

“Anak-anak, bapak pulang.” ujarnya dengan lemas.

Aneh, tak biasa bapaknya pulang dengan keadaan lemas. “Kenapa lemes, pak? Ada masalah?” beliau menggelengkan kepalanya.

“Gak, cuma lelah saja. Hari ini panasnya menyengat sekali.” Aruna hanya memaklumi karena dia merasakan kalau matahari hari ini memang panas.

“Kalau memang begitu, bapak istirahat saja di kamar daripada istirahat disini. Sofanya keras.”

(˚୨୧。)

Sedari tadi, Aruna tidak bisa tidur. Terbayang rumor-rumor kemungkinan tidak benar tersebut. Dia takut sesuatu yang buruk akan menimpa keluarganya.

Mata Aruna mulai melemah, melepaskan beban-beban yang ditahannya dari pagi hingga malam.

PRANG.

Bunyi panci jatuh membuatnya terbelalak. Siapa yang memasak di dapur malam-malam. Pastinya bukan Haris, dia tidur disebelah Aruna. Jika bukan Haris, maka sang bapak.

Tapi dilihat dari netranya yang tadi, bapak tidak terlihat lapar sama sekali. Beliau malah terlihat lelah.

Lantaran keingintahuannya tinggi, Aruna membuka pintu kamarnya secara perlahan. Mengintip dari celah pintu. Terlihat banyak orang berpakaian tugas berdiri di depan kamar Aruna dan berbicara kepada bapak.

“Apa benar anda Mayor Jendral Pandjaitan?”

“Ya, benar itu saya. Ada apa? Tidak biasanya datang pagi buta seperti ini.”

“Maaf menggangu malam bapak, tapi bapak dipanggil oleh bapak presiden.”

“Bapak presiden? Ada urusan apa?” Aruna terheran-heran, pak presiden biasanya memanggil bapak hanya pada saat-saat tertentu dan bukan pagi buta seperti ini.

“Urusan negara yang mendadak, pak.”

Bapak menganggukkan kepalanya, “Baiklah, tapi saya harus mengganti baju dahulu.”

(˚୨୧。)

riuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang