dos.

37 6 0
                                    

Terbesit rasa bersalah dari dalam diri Haris. Tidak seharusnya dia melarang Aruna, lagipula hanya berjalan-jalan saja. Ia merutuki dirinya sendiri.

"Makanya, Ris. Kalau sudah tau saudaramu begitu, jangan dilarang-larang. Selama tidak macam-macam, tidak usah dilarang."

Ucapan bapak hanya dihadiahi dehaman dari Haris, "Nanti Haris coba bilang ke dia."

"Haris, bapak pergi dulu. Oh ya, nanti jangan lupa, rumah jangan dikunci. Bapak pulang malam soalnya." ujar bapak sebelum keluar pergi ke kantor.

(˚୨୧。)

Tok, tok, tok.

"Masuk." tanpa ragu-ragu, Haris langsung menyelonong masuk ke dalam kamar Aruna. Si pemilik kamar cuma diam termenung.

Dia malas mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Melihat Haris saja sudah malas, apalagi mengeluarkan kata-kata.

"Aruna." ujar Haris.

Tidak ada jawaban.

"Aruna. Maaf. Aku tidak bermaksud untuk larang kamu keluar. Cuma aku kaget saja kamu keluar sama Chandra."

Tidak ada jawaban lagi.

"Run, maaf." lirih Haris. Suaranya sudah bergetar sedari tadi.

"Iya, aku maafkan."

Haris terperanjat. "Beneran nih, Run?"

Pertanyaan Haris dihadiahi anggukan dari Aruna. Haris senang bukan main, sebab sedari tadi dia takut tiba-tiba nanti Aruna berubah menjadi versi garang, bisa-bisa Haris ditelan hidup-hidup.

Ternyata, ekspektasi berbeda dengan realita. Orang yang segalak Aruna, segampang itu memaafkan si menyebalkan, Haris.

"Jadi, kamu mau apa setelah aku maafkan?"

"Tidak tahu. Mungkin ... Jalan-jalan denganmu."

"Bukannya kamu sudah membuat janji dengan kak Dinarmu yang cantik jelita itu?" ejek Aruna. Gelak tawa Aruna menghiasi kamarnya yang monoton.

Haris dongkol mendengarnya. Wajahnya yang sumringah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi masam.

Ingin rasanya ia mendorong Aruna dari ketinggian menara yang paling tinggi. "Bisa gak, tidak usah seperti itu."

Gelak tawa Aruna seakan tak bisa dihentikan, dia masih geli memikirkan Haris yang terlalu sayang kepada sang kakak kelas, kak Dinar.

"Lucu banget kayaknya liat kamu sama kak Dinar." ujarnya disela tawa.

"Runa, sudah. Aku bela-belain batalin jalan-jalan hari ini sama dia, cuma buat kamu."

"Oh ya? Aku gak tau. Ternyata saudaraku ini manis juga." Aruna memeluk Haris dengan eratnya.

Dia tidak menyangka bahwa Haris mau membatalkan janjinya kepada kak Dinar. Sepengetahuannya, Haris tidak pernah sekalipun membatalkan janjinya.

Apalagi kalau sudah berhubungan dengan "kak Dinar" ini pertama kali seorang Haris Daniswara membatalkan janjinya hanya untuk membujuk saudarinya.

"Aruna sayang Haris."

"Ya, Haris juga sayang Aruna."

(˚୨୧。)

Aruna merasa ada yang kurang di rumahnya. "Ris, bapak ke mana?" yang ditanya hanya menguyah jajanan. Tak segan Aruna menarik telinga Haris dengan kuat.

Haris pun mengaduh kesakitan, telinganya pucat pasi sudah berubah menjadi warna kemerahan. "Bapak tadi bilang pulangnya malam. Jangan tanya kenapa, aku juga gak tau."

"Pantesan kok rumah kayak sepi, ternyata bapak pergi kerja toh."

"Udah tau pakai nanya lagi. Aku dorong juga kamu dari tangga."

(˚୨୧。)

P.S

Foto diatas memvisualisasikan seorang Haris Daniswara.

riuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang