SIX

40 4 2
                                    

Honne~~ Location Unknown

Dimana ada Lily pasti disitu ada Dieter. Mereka sudah seperti prangko, selalu menempel kemana-mana. Kedekatan mereka berdua sudah diketahui oleh populasi di sekolahnya. Tak sedikit dari mereka yang mengira bahwa Lily dan Dieter adalah sepasang kekasih. Gosip seperti itu sudah beredar luas sejak mereka berada di kelas sepuluh. Namun keduanya lebih memilih masa bodo dan tidak memedulikan hal seperti itu.

Kebanyakan dari mereka yang kepo akut tentang hubungan Dieter dan Lily selalu dibuat menyerah, karna keduanya selalu memberi klarifikasi bahwa mereka hanya berteman. Berteman rasa pacaran, mungkin Itulah yang dipikirkan oleh masyarakat disekolahnya.

Hal itu juga yang menjadi alasan kenapa Lily selalu jomblo, semuanya karna Dieter. Dieter selalu berada disisi Lily. Membuat laki-laki yang tertarik dengan Lily selalu menyerah lebih dulu sebelum maju. Mereka merasa minder karna saingannya adalah seorang Dieter. Tapi, Lily tidak menyadari bahwa Dieter adalah salah satu alasan yang membuat dirinya susah dapat pacar.

Lily masuk kelas dengan gontai, semua pasang mata dibuat aneh, karna biasanya setiap Lily masuk selalu diiringi dengan kehebohan. Entah itu bernyanyi asal-asalan, menari ala-ala freestyle gitu, apapun yang membuat teman didalam kelasnya tergelitik ngakak.

"Ly, jurus seribu bayangan nya mana?" Ucap seseorang berkacamata dengan rambut agak gondrong.

Posisi Lily langsung menyerupai tokoh Naruto ketika sedang mengeluarkan jurusnya, namun dengan versi lemas dan malas, "Kage.. bunshin..nojutsu." Ucap Lily ogah-ogahan.

"Ah gak seru." Komentar salah satu temannya lagi. Kompak mereka langsung mengalihkan pandangan pada kesibukan semulanya.

Diposisi duduknya, Dieter terus memandang Lily penuh tanya. Lily menyuruh Dieter agak mundur, karna dia ingin segera duduk dibangkunya. Dieter pun mendorong kursinya kebelakang supaya tubuh Lily muat untuk masuk.

Dieter meraih pipi kiri Lily, membuat wajah mereka saling bertemu. Kini kedua tangan Dieter menekan pipi Lily yang cabi. Lily tak berontak, dia mengedipkan matanya dua kali, ketika sorot mata Dieter begitu serius menatapnya. "Mata lo sembab Ly." Ucap Dieter pelan.

Sedetik kemudian Dieter melepaskan pegangannya. Namun tatapan matanya tak berpindah sedikitpun dari wujud Lily. "Udah sarapan?"

Lily menggeleng polos.

Dieter langsung membawa tas yang tergeletak dibawah mejanya, dia segera mengeluarkan roti'o dan satu botol aqua yang tadi hendak dia beli saat perjalanan ke sekolah. "Makan nih!"

Lily tak menolak, dia langsung meraih roti nya dan melahapnya. Setelah dua gigitan, Lily mengasongkan rotinya pada Dieter, karna Dieter terus saja melihatnya ketika Lily makan. Dieter tersenyum tipis, lalu meraih tangan Lily dan langsung mengambil satu gigitan pada roti tersebut. Lily sedikit tersenyum, lalu ia menggigit kembali rotinya sampai habis.

***

kelas bubar satu menit yang lalu. Sebelum berada di ambang pintu, Lily meraih pergelangan tangan Dieter. Dieter menoleh. "Dit, Gue gak mau pulang dulu." Wajah Lily menyendu.

Dieter hanya mengangguk, lalu meraih kembali tangan Lily dan menuntunnya hingga ke parkiran.

Di parkiran, Dieter memasangkan helm ke kepala Lily sebelum dia memasang helm miliknya. Dieter tak banyak bicara, dia langsung menaiki motor gedenya, disusul Lily.

Tangan Lily melingkar di pinggang Dieter, membuat ritme jantung Dieter berdetak tak beraturan. Biasanya Lily hanya memegang pundaknya, atau mencengkram erat jaket miliknya. Dieter semakin menahan nafas, ketika tubuh Lily begitu terasa di balik punggungnya.

Dieter segera menyalakan mesin motornya, lalu melaju meninggalkan sisa asap dari knalpotnya.

Hening.

Keduanya tak saling bicara, mereka sibuk dengan lamunannya masing masing selama perjalanan. Tangan Dieter sengaja mengubah posisi kaca spion sebelah kanannya, agar dia bisa mencuri pandang melihat wajah Lily sekali-kali meskipun sedang menyetir.

Setelah memakan waktu hingga satu jam lebih, akhirnya mereka sampai ditujuan. Dieter membuka helmnya, lalu menoleh kebelakang, "Sudah sampai, Ly."

Lily melepas pegangannya pada Dieter sambil mengangguk mengerti, lalu dia membuka helmnya mandiri. Kedua bola matanya dibuat kagum ketika melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Iris cokelatnya berbinar-binar, garis wajahnya mendadak ceria.

Terdengar suara burung-burung yang berkicau ria dan deru ombak yang menghantam bebatuan, serta hilir angin yang menyapu wajahnya.

Dieter mengajak Lily turun dari motornya. Lalu berjalan beriringan diatas jembatan yang mengantarnya ketepian laut. Lily nampak bahagia, sudah lama rasanya dia tidak pergi ketempat seperti ini. Lily tersenyum sumbringah kearah Dieter, dan Dieter hanya membalasnya dengan senyuman tipis penuh makna.

"Seneng?" Tanya Dieter memandang Lily.

Lily mengangguk bahagia.

Mereka sampai diujung jembatan yang tidak begitu banyak orang. Tangan mereka bertumpul pada sisi-sisi jembatan, hembusan angin kecil menyapu wajah mereka. Helaian rabut mereka terkibas-kibas disapu oleh angin. Bola matanya tak berhenti memandang keindahan laut yang tidak ada ujungnya.

"Gue kesel dit.." Lirih Lily, Dieter menoleh.

"kemarin, gue berantem sama kakak gue, Vio."

"Biasanya juga kan lo berantem?" Tanggap Dieter yang tidak disukai Lily.

Lily mendecih. "Kali ini parah Dit, dia jambak rambut gue, rasanya ni kepala mau copot aja. Gue kesel, dia.. bener-bener gamau ngalah sama adik sendiri," Lily memberi jeda, karna mendadak dadanya terasa terhimpit. "Kenapa sih, gue harus terlahir jadi adik mereka? Vio selalu seenaknya bicara, dia kasar banget sama gue. Dia kayanya gaakan segan-segan kalo disuruh bunuh gue."

Tangan Dieter terulur, mengusap lembut pucuk kepala Lily. Mencoba menenangkan Lily yang seperti akan menangis dalam hitungan detik.

"Rose juga, Dia selalu bersikap baik sama orang lain, tapi nggak kalo sama gue. Padahal gue berharap banyak sama dia, karna gue pikir dia satu-satunya kakak yang bisa bikin gue ngerasain gimana rasanya disayang, dimanjain kakak sendiri. Dia terlalu sibuk sama dunianya sendiri." Lily menahan genangan air yang siap tumpah dipelupuk matanya.

"Ester juga, Mentang-mentang dia yang paling tua, dia selalu bersikap seenaknya. Bukannya ngelindungin adik-adiknya, dia malah jadiin gue kaya pembokat dia." Lily terisak, segelintir air sudah terjatuh membasahi pipinya.

"Dia selalu nyuruh gue masak, cuciin bajunya, jemurin, beresin kamarnya, gue capee.." suara Lily semakin bergetar. Dieter segera merangkul kepala Lily kedada bidangnya. Mengusap-usap pelan rambut nya. "Dia juga.. kemarin nyebor gue pake air bekas pel-lan."

"Sebenarnya mereka sayang sama elo, Ly. Tapi cara mereka nunjukinnya aja yang beda." Ucap Dieter masih mengusap lembut rambut Lily.

Lily langsung memukul pelan dada bidang Dieter, "Yaa! Mana ada sayang nyiksa begini."

Dieter sedikit terkekeh.

"Dit.."

"Hmm?" Jawab Dieter pelan

"Bukannya rumah itu tempat yang paling nyaman? Tempat yang paling dirindukan? Tapi, kenapa gue gak ngerasain itu?"

"Suatu saat lo bakal ngerasain sendiri." Dieter melepaskan rangkulan-nya , lalu menatap Lily serius sambil memegang kedua bahu Lily erat, "Percaya deh sama gue. Kalian sebenarnya saling menyayangi, hanya saja kalian kurang mengerti satu sama lain"

Lily diam.

"Terus gue harus gimana?"

"Coba lo mulai buat ngertiin mereka, mulai dari hal kecil aja, misalnya ngobrol-ngobrol ringan, kumpul-kumpul, apa aja deh yang bisa bikin kalian cair satu sama lain."

Lily sedikit mendongak, "Baiklah, gue coba." ketusnya.

Home Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang