SEVEN

29 4 0
                                    


Billie Eilish ~Everything i wanted

Vio melenggang masuk menuju hiruk piruknya suasana club. Wajahnya yang jutek terlihat semakin muram, membuat orang-orang yang melihatnya merasa segan untuk menyapa. Dia berjalan malas ke-arah sudut bar tempat favoritnya.

"Wine satu." Pinta Vio acuh tak acuh seraya memainkan jari tangannya di bibir gelas berukuran kecil.

Satu botol wine sudah di asongkan diatas meja, namun Vio tak menyadarinya, dia terus sibuk dengan lamunannya.

"Maaf.. ini—" Ucap barista tersebut mengasongkan kembali wine pesanan Vio.

"Ah, yaa." Vio tersadar, lalu meraih botol tersebut.

Tunggu.

Vio kembali menatap wajah barista yang barusan melayaninya. Dia ingin memastikan sesuatu bahwa barista tersebut adalah laki-laki yang sudah berani membanting pintu tepat didepan wajahnya kemarin-kemarin. Mata Vio semakin mengerut, menilik-nilik wajah nya dengan teliti.

Ternyata benar. Dia.. si pria sombong itu.

Vio langsung mendecih geli.

"Heyy." Vio memanggil agak berteriak santai. Ekspresi meremehkan terpasang jelas diwajah Vio.

Barista tersebut menengok kanan dan kiri, lalu menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan bahwa yang Vio panggil adalah dirinya.

Vio mengangguk. Lalu dia memberi kode dengan tangannya agar barista itu segera mengahampirinya.

"Tuangkan!" Titah Vio seraya mengasongkan botol wine pada pria yang sudah berdiri disebrangnya.

Tidak menolak, dengan wajah dinginnya dia langsung menuruti perintah Vio dengan menuangkan wine pada gelas berukuran kecil.

"Lo minum!"

Barista dengan name-tag bertuliskan Zairo tersebut langsung menatap Vio—dingin. "Maaf, saya lagi kerja."

"Karna lo kerja, jadi lo harus nurutin apa maunya pelanggan!" Ucap Vio dengan nada merintah.

Zairo menatapnya dingin tak berekspresi. Dia tidak ragu sama sekali untuk menenggak habis wine dalam gelas tersebut.

"wahh" Vio tersenyum, "Tuangkan lagi!"

Iris hitam-nya menatap Vio dingin, tatapannya dua kali lebih menusuk dari biasanya, membuat Vio secara tidak sadar merasa menciut dan tersudutkan.

"Maaf saya harus melayani tamu lain, karna pelanggan disini bukan hanya anda." Zairo berucap sopan namun dingin menusuk.

Mendengar ucapan tersebut membuat Vio menganga tak percaya. "hah"

Dua kali harga dirinya merasa diinjak-injak. Vio bersumpah dalam hatinya, bahwa dia akan membalas pria sombong nan miskin itu. "belagu banget padahal cuman pelayan bar." Vio menghentakkan gelas yang ada ditangannya.

***

Pukul 20.15 PM

Lily baru saja sampai dirumahnya, Lily melambaikan tangannya dan tersenyum sebelum Dieter melaju meninggalkan asap tipis dari knalpot miliknya.

Didepan pintu masuk Lily menarik napas pelan untuk menghilangkan kegugupan-nya. Malam ini Lily berniat untuk mengajak kakak-kakaknya makan malam bersama. Seperti yang Dieter bilang, bahwa ia harus mencoba untuk saling memahami satu sama lain, yaitu dengan salah satu pendekatan yang ia rencanakan malam ini.

Pertama, Lily melangkahkan kakinya menuju kamar Rose, yang terletak dilantai bawah.

Suara ketukan pintu tiga kali tak kunjung dibuka, hingga akhirnya Lily sendiri yang mendorong pintu yang tertutup rapat itu. Untungnya tidak terkunci.

Mata Lily mendapati Rose sedang duduk di meja belajar-nya dengan kedua telinganya yang disumbat headphone, ditemani tumpukan buku dan sebuah Macbook pro didepan-nya.

Rose menoleh, setelah menyadari bahwa Lily sedang berdiri di ambang pintu. Rose langsung menggeser sebelah headphone-nya. "Ada apa?" Tanya Rose.

Lily terlihat salah tingkah, mulutnya kikuk untuk sekadar mengajak kakaknya itu makan malam bersama.

Rose mengulangi pertanyaannya kedua kalinya. "ada apa?"

"Emmm. Anu.. a--ayo makan malam bersama." Ajak spontan Lily pada Rose.

Rose mengangkat sebelah alisnya, tumben sekali adiknya itu mengajak dirinya makan malam bersama. Pasti ada maunya, itu yang terlintas dipikiran Rose.

"Sorry. Tadi kakak udah makan malam diluar bareng temen-temen."

Lily masih berdiam diambang pintu beberapa detik setelah mendengar penolakan dari kakak ketiganya itu. "oh, oke baiklah." Lily menutup pintunya. Ia berbalik memunggungi pintu kamar Rose, dan otomatis menghadap pintu kamar Violet.

"Huh" Lily merasakan dua kali lipat kegugupan dari sebelumnya. Seperti yang diketahui, bahwa Violet adalah musuh buyutnya dirumah ini. Violet dan Lily bagaikan tom and Jerry yang tak pernah damai.

Dengan ragu Lily mengetuk pintu kamar Violet, tiga kali ketukan tidak ada jawaban. Lily mencoba kembali mengetuk pintu-nya. Namun hasilnya sama, tak ada jawaban. Pintunya terkunci. Kemungkinan Vio sedang berada didunia malam-nya.

Lily membuang nafas sedih, niat pertamanya tidak berjalan sesuai harapan. Ia berjalan gontai menjauhi kedua kamar kakaknya. Tinggal satu lagi, dia segera menaiki tangga untuk mengajak Ester, kakak pertamanya.

Namun, harapan-nya sia-sia. Ester sudah terlelap tidur. Rasanya tidak enak jika memaksanya bangun. Lagipula, Lily ingin berkumpul bersama ke tiga kakaknya, bukan salah satunya. Lily berjalan kembali menuju kamarnya, dengan wajahnya yang semerawut.

Kepalanya terasa berat, kakinya pun terasa lemas. Ia menjatuhkan seluruh tubuh-nya di atas ranjang. Ah, hari yang sangat menyebalkan. Lily menggerutu kesal dalam hatinya bahwa ini adalah pertama dan terakhir kalinya dia mengajak kakak-kakaknya untuk makan malam bersama. Setelah ini, dia bersumpah tidak akan mengajaknya lagi.

Hp Lily berdering, bunyi pesan masuk. Dengan terpaksa Lily berangsur duduk untuk mengambil handphone didalam tasnya.

Dieter : Gimana? Lancar?

Dieter : Kabari gue ya!

Lily : boro-boro

Lily : gue dapet tiga penolakan

Lily : Kesel gue!

Lily : gak mau lagi gue ngajak mereka.

Dieter : Jadi lo belum makan malam dong?

Lily : boro-boro

Dieter : Tau gitu, tadi lo makan malam sama gue aja, Ly.

Dieter : Sorry. Gara-gara saran dari gue, lo jadi gak makan malem.

Lily : yaelah, santai aja kali Dit, cuma makan malem aja. Lebay banget sih lo!

Dieter : bukan gitu, Ly.

Dieter : udah deh sekarang mending lo makan dulu.

Dieter : Gue temenin!

Layar Hp Lily tiba-tiba berubah menjadi panggilan Video Call.

Pada akhirnya, Lily hanya makan malam berdua di meja makan bersama Dieter dibalik layar handphone milik-nya. Kekecewaan dan kekesalan malam ini setidaknya sedikit terobati.

"Makan yang banyak." Ucap Dieter tersenyum dibalik layar handphone milik Lily.

Home Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang