Bab. 2

855 66 4
                                    

Seperti biasa aku selalu mengantar Adinda ke sekolah setiap pagi. Di usia yang keenam dia sudah duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Meskipun umurnya masih dini, tetapi dia sudah bersikap dewasa. Mungkin keadaanlah yang membuatnya seperti itu. Dari kecil tak pernah mengenal sosok ibu.

Tiba di sekolah Adinda mencium tanganku, lalu berlari bergabung dengan teman-temannya. Hati terenyuh menyaksikannya. Lalu, setetes buliran bening jatuh dari pelupuk mata. Aku segera menyeka dengan ujung jari. Kemudian, melangkah meninggalkan area sekolah Adinda.

Aku pergi ke pasar, bekerja sebagai buruh panggul di toko Pak Hardoyo. Sudah setahun terakhir ini menjadi pegawai tetap juragan kaya itu. Bersyukur masih ada orang yang memercayai menjadi pekerjanya.

Menjelang tengah hari, aku istirahat di emperan toko Pak Hardoyo. Lalu, salah satu teman menghampiri.

"Har," panggilnya.

Aku menoleh. "Ada apa, Jok?"

"Kamu nggak mau nikah lagi apa?" tanya Joko sambil duduk di sampingku.

"Kamu ngomong apa? Aku masih berstatus suami orang." Aku tersenyum getir. Entah, apa masih sah hubungan pernikahanku dengan Rena.

"Tapi Rena, kan udah menghilang, Jo. Nggak pernah ngasih kabar sama kamu. Nggak kasihan sama Adinda? Pasti dia butuh sosok ibu." Joko menatapku.

Aku menelan ludah. Justru kasihan jika aku menikah lagi, karena pasti kebutuhan untuk Adinda akan terbagi. Lagi, aku juga belum bercerai dengan Rena. Biarlah hidup berdua saja dengan putri tercinta. Itu mungkin lebih baik, daripada menikah lagi ternyata ibu tirinya tak sayang pada Adinda. Napas terhela dengan panjang.

Setelah hilang rasa lelah, kemudian aku kembali melakukan aktivitas. Semua kulakukan demi Adinda, hingga terasa ringan tanpa beban. Tanpa terasa hari sudah sore hari, waktunya untuk pulang. Akan tetapi, entah kenapa jiwa terasa tak tenang. Aku berjalan dengan tergesa, khawatir terjadi sesuatu dengan Adinda. Apalagi dia di rumah sendiri. Ya, putriku memang selalu sendiri, tiap aku bekerja. Tak pernah mau pergi ke rumah neneknya, alasannya tidak mau bolak-balik.

Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah. Mata menyipit ketika melihat seorang wanita berambut sebahu dibiarkan tergerai. Memakai celana panjang Skinny Jeans warna hitam polos dan atasan kemeja putih dengan panjang lengan tiga per empat. Serta memakai High Heels warna hitam. Tampilannya tampak elegan.

Aku mengernyit heran. Siapa yang datang bertamu ke gubuk reyot punyaku? Pintunya tertutup rapat. Apa mungkin Adinda takut menemui orang itu? Aku segera melangkah dengan cepat.

Pupil mataku membesar dan mulut sedikit ternganga, tak percaya dengan wanita di hadapan. Dia sungguh berbeda dari beberapa tahun silam. Penampilannya yang elegan, menunjukkan bahwa kehidupannya jauh lebih baik.

"Rena," desisku dengan suara bergetar.

Bahagia yang tiada tara rasanya. Rena--istriku--kembali pulang. Ingin sekali memeluknya. Rena bagaikan bidadari yang cantik. Aku mendekat hendak meraih tangannya, tetapi tiba-tiba dia mundur sambil melambaikan tangannya.

"Stop! Jangan mendekat." Rena bergidik memandangku.

Mata membulat sempurna, tak percaya. Apa dia jijik melihat penampilanku yang acak-acakan seperti sekarang? Wajah lelah pulang dari bekerja.

"Rena, aku suamimu. Apa kamu lupa? Tak maukah kamu bertemu dengan Adinda?"

"Cukup, aku ke sini cuma mau ngasih ini!" Rena menyerahkan satu amplop padaku.

Tangan bergetar menerimanya. "Apa ini, Ren?"

"Surat panggilan perceraian dari Pengadilan Agama."

Dikhianati Sang Istri (Maafkan Ayah, Nduk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang