Bab 5

597 47 3
                                    

Setiba di rumah, aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Hati dan pikiran tak tenang. Aku benar-benar takut kalau Rena akan nekad membawa Adinda pergi. Rena sekarang kaya raya, yang pasti segala cara bisa dilakukan. Sementara aku, orang miskin tanpa harta melimpah, kalau sampai masuk ke ranah hukum pastinya akan kalah dan tak bisa memiliki hak asuh Adinda.

"Ayah kenapa wajahnya tegang?" Pertanyaan Adinda mengagetkanku.

"Nggak, kok, Nduk. Sekarang cepat ganti baju dulu!" perintahku.

Gadis kecil itu mengangguk dan berlari ke dalam kamar. Sungguh beruntung memiliki anak yang berbakti seperti Adinda.

Kemudian, aku ke dapur untuk menyiapkan makan siang sambil menunggu Adinda selesai ganti baju. Semenjak ditinggal Rena, aku sudah terbiasa sendiri. Mau tidak mau harus bisa memasak, padahal dulu sama sekali tak bisa memasak. Aku menarik napas dalam, ketika teringat masa lalu bersama Rena. Bayangan kehidupan yang bahagia masih terpampang nyata di depan mata.

Rena istri yang penurut dan tak pernah menuntut sesuatu yang melebihi batas kemampuanku. Namun, semenjak dia bergaul dengan seorang teman masa sekolahnya dulu, yang baru pulang jadi TKW, Rena jadi suka menuntut. Lalu, dia memutuskan untuk pergi bekerja menjadi TKW juga. Hah, kalau saja waktu bisa diputar kembali, aku tak akan pernah mengizinkan dia bekerja. Nasi telah menjadi bubur.

Lalu, setelah sekian lama dia lupa pada Adinda, mengapa tiba-tiba datang menemui di sekolah? Apa maunya sebenarnya?

"Ayah!" teriak Adinda.

"Iya, Nduk! Ayah di dapur!"

Kemudian, terdengar derap langkah mendekat.

"Adinda sudah lapar," ucap Adinda sambil nyengir.

Rambutnya kuacak dengan lembut. Lalu, menaruh telur goreng kesukaan Adinda di piring.

"Ayo kita makan," ajakku.

Mata Adinda tampak langsung berbinar melihat telur goreng di piring. Kami memang jarang makan dengan lauk enak. Jadi, melihat telur saja Adinda sudah begitu senang.

Lalu, kami menikmati makan dengan penuh syukur. Tuhan masih sayang pada kami, karena sampai detik ini diberi kesehatan dan rezeki yang cukup.

💔

Malam hari sehabis belajar, putri kecil itu ingin ditemani tidurnya. Aku berbaring di sebelah Adinda sambil menatap langit-langit yang gelap.

"Ayah!" panggil Adinda.

Aku menoleh. "Iya, Nduk."

"Wanita tadi siang itu siapa? Kenapa Ayah seperti nggak suka melihatnya." Adinda memang sangat kritis meski usianya masih kecil.

Kerongkongan tercekat mendengar pertanyaan putri kecilku. Haruskah dia tahu siapa sebenarnya wanita tadi? Namun, aku takut Adinda akan ikut Rena, jika tahu yang sesungguhnya. Adinda sangat merindukan ibunya.

"Ayah! Malah diam, sih!" Bibir Adinda mengerucut membuatku begitu gemas.

"Sudah malam, ayo tidur. Ayah ngantuk." Aku tersenyum, lalu pura-pura tidur.

Masih sempat kudengar Adinda memanggil dan bertanya soal Rena. Namun, aku tak acuh dan tetap pura-pura sudah tidur. Akhirnya, tak terdengar suara Adinda lagi, mungkin sudah pergi ke alam mimpi. Setelah yakin Adinda telah tidur, aku membuka mata dan menoleh pada Adinda.

'Maafkan Ayah, Nduk. Belum siap mengatakan siapa ibumu.' Aku menatap pilu Adinda yang sedang tertidur.

💔

Pagi ini aku merasa sedikit meriang, jadi memutuskan tidak bekerja. Adinda pun berangkat sekolah sendiri. Entah, tiba-tiba kepala begitu pusing. Mungkin karena terlalu bayak pikiran, sehingga jadi beban mental. Napas keembuskan perlahan. Lalu, beringsut dari dipan dan melangkah ke dapur.

Dikhianati Sang Istri (Maafkan Ayah, Nduk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang