Hati terasa lega dan bunga-bunga terasa beterbangan di sekitar kepala. Akhirnya, segala gundah dalam dada sudah terlewati. Kejujuran memang bisa membuat lega. Aku tersenyum, teringat kejadian di rumah sakit tadi siang.
Ibunya Anna membatalkan perjodohan Anna dengan anak sahabat suaminya. Tak ingin membuat Anna menderita, karena kebahagiaan gadis dua puluh delapan tahun itu lebih utama dari yang lain. Lalu, mereka merestui hubungan kami. Beliau juga menerima lamaranku yang mendadak tanpa rencana. Namun, aku telah berjanji akan kembali datang melamar setelah Anna sembuh nanti. Napas kutarik dengan dalam.
“Ayah!” Panggilan Adinda membuyarkan lamunanku.
“Iya, Nduk! Ada apa?” teriakku dari teras.
“Ayah di mana?”
“Di luar, Nduk!”
Tak lama kemudian, Adinda menyusulku duduk di teras.
“Ayah, kenapa senyam-senyum sendiri?” Adinda menoleh ke arahku.
“Eh, nggak, kok.” Aku mengacak rambutnya gemas. “Besok siang sepulang dari sekolah, kita jenguk Bu Anna, ya? Dia sakit, kangen kamu.” Aku menjawil ujung hidung Adinda.
“Ayah habis ketemu Bu Anna?” Kedua alisnya bertaut.
“Tadi nggak sengaja dengar kabar kalau Bu Anna sakit. Terus Ayah jenguk ke rumah sakit, tiba di sana nanyain kamu, Nduk.” Terpaksa aku berbohong pada Adinda, tak mungkin mengatakan jika sebenarnya aku kebingungan mencari alamat rumah Anna.
“Yey, asyik, besok ketemu Bu Anna. Adinda kangen banget, Yah. Tapi ...” Adinda menggantungkan ucapannya, lalu tiba-tiba binar di matanya meredup.
Mata menyipit melihatnya tampak murung, kenapa malah bersedih? Bukannya besok bertemu Anna?
“Kamu kenapa, Nduk?” tanyaku sambil menatapnya lekat.
“Meski ketemu, tapi nggak bakal jadi ibunya Adinda, Yah.” Pelan Adinda berucap sambil menunduk.
Astaga, jadi dia takut kalau tidak memiliki ibu seperti Anna?
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Ya, kan Bu Anna mau menikah katanya,” jawab Adinda, matanya tampak mengembun.
“Sudah jangan sedih, kalau Allah mengizinkan Bu Anna jadi ibunya Adinda pasti bisa, tapi jika nggak, ya nggak boleh sedih.” Aku merengkuhnya dalam pelukan.
Napas terhela dengan panjang. ‘Maafkan Ayah, Nduk, nggak bilang yang sebenarnya. Nanti jika sudah waktunya kamu akan tahu sendiri.’ Aku berucap dalam hati. Lalu, kucium pucuk kepala Adinda dan mengusap bahunya pelan.
Insyaallah, kebahagiaan hakiki akan datang pada keluarga kecilku. Semoga, Anna memang jodoh terakhir dan terbaik untukku.
💔
Siang hari sepulang Adinda dari sekolah, toko kututup. Lalu, memacu motor matic menuju rumah sakit. Adinda membonceng di belakang, berpegangan erat. Gadis usia sepuluh tahun itu terlihat bahagia. Di matanya ada binar keceriaan.
“Ayah jangan ngebut, Adinda takut.” Adinda memegang erat pinggangku.
“Nggak, kok, Nduk. Ini juga pelan.” Aku memegang tangan mungilnya.
Jalanan sedikit sepi, karena cuaca panas. Mungkin orang-orang lebih suka berdiam di dalam rumah. Semakin dekat dengan rumah sakit, jantung berdegup lebih kencang. Entah, kenapa masih saja gugup. Padahal dulu pada Rena tidak seperti ini.
Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah sakit. Setelah memarkirkan motor, segera melangkah menuju ruangan Anna. Namun, mataku menyipit ketika melihat ada seorang lelaki tinggi menjulang, rambut disisir ke belakang memakai kemeja biru tua dan celana bahan kain warna hitam, masuk ke kamar rawat Anna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikhianati Sang Istri (Maafkan Ayah, Nduk)
General FictionHarjo seorang ayah yang berjuang merawat anaknya seorang diri. Istrinya pergi dan meninggalkan anaknya yang masih kecil. Mampukah Harjo membesarkan putri kecilnya tanpa istri? Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.