"Ayah, lihat Adinda sama siapa!" teriak Adinda dari luar, suaranya terdengar ceria.
Lalu, samar-samar terdengar suara seorang wanita menangis. Aku segera keluar, teringat kalau Rena masih belum pergi. Jangan-jangan dia mempengaruhi Adinda.
"Adinda ini Ibu, maafin Ibu, ya," ucap Rena hendak memeluk Adinda.
Adinda tampak bingung, dia beringsut mundur bersembunyi di balik tubuh seorang wanita berkerudung merah muda, Bu Anna. Mataku membulat sempurna. Kenapa bisa Adinda bersama Bu Anna? Lalu, mengapa juga Rena belum pergi? Padahal aku sudah mengusirnya. Lalu, aku langsung melangkah dengan tergesa ke arah mereka.
"Cukup Rena! Lihatlah anakmu ketakutan!" Aku mencengkeram lengan Rena.
"Lepas, Mas! Aku kangen Adinda, ingin memeluknya! Apa nggak boleh?" Rena menepis tanganku dengan kasar.
Lalu, sorot mata Rena tajam menatap Bu Anna.
"Siapa kamu? Kenapa bisa sama anakku? Oh, mau ngambil dan ngerebut dariku?"
"Maaf, Mbak. Saya guru Adinda di TK dulu, kebetulan tadi ketemu di jalan dan diajak ke sini sama Adinda. Saya nggak ada niat sama sekali merebutnya dari siapa pun." Bu Anna tetap menjawab dengan sopan. Membuat aku semakin kagum padanya.
"Bohong! Dasar wanita nggak tahu malu!" Tangan Rena terangkat dan akan memukul Bu Anna. Aku segera mencengkalnya.
"Kamu nggak malu ngehina wanita lain nggak tahu malu? Kamu yang nggak tahu malu! Dulu ninggalin aku dan Adinda, sekarang bilang kangen ke Andinda? Ke mana aja kamu dulu?" Aku memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, hingga membuat pupil mata Rena membesar.
"Kenapa, Mas? Siapa wanita ini? Kenapa kamu membelanya? Dan ngehina aku di depan wanita ini!" Sorot mata Rena tajam membidikku.
Napasku terhela dengan panjang. "Dia ... calon ibunya Adinda!" Astaga, apa yang kuucapkan. Bagaimana kalau Bu Anna tak terima dan marah padaku?
"Apa? Aku ibunya, Mas! Sampai kapan pun akan tetap menjadi ibunya, nggak bisa tergantikan!"
"Kalau gitu, ke mana kamu dari dulu? Kenapa baru sekarang datang?" tanya Adinda.
Mataku membulat sempurna mendengar pertanyaan Adinda. Putriku memang anak yang pintar.
"Ibu cari uang, Nduk. Kalau nggak kerja cari uang kita bisa kelaparan." Rena mendekat pada Adinda dan ingin memeluknya.
"Jangan mendekat! Cari uang sampai lupa pada anaknya? Selama ini Ayah yang merawat dan mencukupi kebutuhan Adinda."
"Maafkan Ibu, Nduk. Ibu ingin memelukmu seben-taaar saja." Suara Rena terdengar bergetar.
Melihat Rena memohon seperti ini, membuat hatiku terenyuh. Namun, aku tidak boleh kalah, siapa tahu hanya suatu rekaan Rena.
"Pergi dari sini kamu Rena! Adinda nggak mau melihatmu." Aku menatap tajam Rena.
"Apa kesalahanku benar-benar nggak bisa dimaafkan?"
Napas kutarik dengan panjang. "Salahmu sudah aku maafkan, karena itu sebaiknya kamu pergi dari sini, sebelum pikiran berubah."
"Apa nggak bisa kita mulai dari nol kembali?"
"Rena! Sudah kukatakan sejak tadi, pengkhianatanmu sungguh menyakitkan. Jadi, jangan pernah meminta kembali, aku sudah memaafkanmu. Pergilah, pulanglah pada anak dan suamimu yang baru. Kasihan mereka, cukup aku dan Adinda saja yang jadi korban keegoisanmu."
"Baiklah, aku pergi. Sekali lagi maafkan aku, Mas. Adinda maafkan Ibu, ya," pinta Rena.
Adinda hanya bergeming tanpa menanggapi ucapan Rena.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dikhianati Sang Istri (Maafkan Ayah, Nduk)
General FictionHarjo seorang ayah yang berjuang merawat anaknya seorang diri. Istrinya pergi dan meninggalkan anaknya yang masih kecil. Mampukah Harjo membesarkan putri kecilnya tanpa istri? Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.