Persentase Cemburu

25 3 0
                                    

Di bawah hujan deras pada malam itu, seorang gadis berseragam berlari pasrah tubuhnya kuyup. Ia tak memilih untuk sekedar berteduh. Menurutnya itu hanya membuang waktu. Walau angin malam sedikit menusuk kedalam tubuhnya, ia tetap menabrak deras hujan. Tujuan kakinya kali ini adalah sebuah rumah malaikat tanpa sayapnya.

Semakin lama, kepala nya terasa berputar. Bisa dipastikan esok ia tidak masuk sekolah. Semakin pusing kepalanya, semakin tak tentu arah kakinya berlari. Hingga tanpa disadari, gadis itu berada di tengah jalan yang sepi. Namun nyatanya, keadaan jalan tak begitu sepi. Tetap ada yang akan berlalu lalang.

Sebuah sinar kuning membuat kepala gadis itu semakin pusing. Bunyi bising klakson mobil memekakan telinganya. Kepalanya semakin pusing. Tubuhnya pasrah jatuh diatas jalanan yang dingin.

***

Setelah menyelesaikan urusan dengan pegawai pegawainya, Juna berjalan cepat menuju kamar tamu dilantai dua mansionnya. Rasa khawatir berpadu dengan rasa bersalah yang menyelimuti hati laki-laki itu.

"bagaimana keadaannya?" Tanya Juna saat memasuki kamar luas yang didesain klasik.

"Dia demam tinggi,tuan" ucap salah satu pelayan wanita

Juna mendekati gadis yang sudah berganti seragam menjadi sebuah gaun sederhana berwarna abu-abu milik nyonya besar.

"Namanya Bianca Felicia Maureen, tuan" ucap pelayan lainnya lagi.

Jangan ditanya sebanyak apa pelayan di mansion Juna. Selain seorang model, Juna juga seorang wakil CEO di perusahaan mebel tuan besar alias ayahnya. Sudah dipastikan, Juna berada dikeluarga yang sangat kaya.

Juna menduduki kursi yang berada disamping kasur tempat Bian terbaring lemah dengan wajah pucat pasinya. Air wajah Juna terlihat serius saat mengamati wajah Bian. Seperti ada tanda tanya besar difikiran Juna saat melihat wajah Bian. Entah apa yang membuat Juna merasa tak asing dengan wajah ini. Juna dan Bian memang satu sekolah, tapi Juna sangat jarang hadir di sekolah. Wajar jika Juna tak kenal banyak dengan putra putri Rajawali.

Selagi Juna masih memperhatikan wajah Bian,perlahan matanya bergerak terbuka. "Bunda?" lirih Bian.

Juna memberikan segelas air putih hangat kepada Bian. "minum dulu" ucapnya lembut.

Bian menyikap selimut yang membalut tubuhnya "gue harus pulang. bunda gue sakit"

"nyokap lo udah dirumah sakit. gue udah suruh pegawai gue jagain bunda lo." jelas Juna membuat Bian diam ditempat. mencoba mencerna kata demi kata yang Juna ucapkan barusan.

"gimana bisa?" Bian menatap Juna serius.

"lo ujan ujan jalan sempoyongan ditengah jalan raya. trus lo pingsan didepan mobil gue. maaf gue lancang karna nyuruh orang buat ngecek hp lo dan di hp lo gue nemuin petunjuk tentang bunda lo" Juna berusaha tersenyum untuk menenangkan gadis kuat yang sebenarnya sedang ada yang rapuh sebagian didalam tubuhnya.

"bunda lo udah ditanganin orang yang tepat. sekarang lo istirahat,lo juga sakit. besok gue anter lo ke tempat bunda lo" lanjut Juna sambil mendorong bahu Bian pelan agar ia kembali berbaring.

"gimana bisa ada orang sebaik lo didunia yang kejam ini?" ucap Bian membuat Juna terdiam sejenak.

"kita sama sama anak Rajawali kan? udah seharusnya saling bantu"tanpa sadar salah satu tangan Juna mengusap pelan pucuk kepala Bian.

"lo rajawali? gue gak pernah liat lo"

"gue emang jarang sekolah. bisa sebulan cuman tiga kali pertemuan doang"

Bian terkejut mendengar penuturan Juna yang terdengar santai namun diotak Bian itu adalah sebuah kesalahan besar bagi pelajar.

"gue gak bolos. cuman gue ada kewajiban lain selain sekolah. pihak sekolah bolehin kok." lagi lagi Juna memperlihatkan senyumannya.

Bian terlamun memikirkan sikap nya yang seketika melembut dihadapan Juna. Banyak kata mengapa dalam fikiran Bian saat ini. Mungkin saja ini pengaruh sakit dikepalanya yang membuat ia tak mampu bersikap seperti biasa.

***

Lelaki jakung itu terlihat bahagia memantulkan bola oren nya berkali kali lalu melompat agar bola orennya masuk kedalam ring. Ia tak peduli malam ini bumi sedang menangis.

"Den Genta, ada non Arsa didepan nyariin aden" ucap bi marsih menghampiri Genta dengan tangan kanannya menggenggam pegangan payung.

Genta masih terus bermain dengan bola orennya. "Suruh dia kesini"

"Baik den"

Tak lama setelah itu, suara lembut Arsa menyapa telinga Genta. "Hai, Gen."

Genta terkejut melihat Arsa ikut bergabung di lapangan basket halaman belakang rumahnya yang jelas jelas tak ada pelindung hujan disini. Arsa sendiri sudah basah kuyup. Genta semakin tak percaya dengan gadis itu yang hanya mengenakan kaos hijau army dan celana jeans panjang. Jelas jelas pakaian itu tidak cocok dikenakan saat hujan seperti ini.

"Gila" Genta langsung menarik tangan Arsa menuju sebuah pondok.

Genta terdiam melihat Arsa yang terus menatapnya dengan senyum tipis diwajah yang sudah terbasahi air hujan. "kenapa?" tanya Genta

"Juna" ucapnya pelan.

"Nyesel?" Arsa mengangguk pelan.

Genta merotasi kedua bola matanya. Heran. Kenapa mereka sepertinya membuat cinta semakin rumit. Padahal sama sama suka. "Lo yang bertindak, tanggung resikonya" ucap Genta

"Secepat itu Juna dapatin pengganti gue?"

"Sa, Juna sayang sama lo. Lo nya aja melibatkan gengsi dalam hubungan. Jadi kacau kan?" Arsa menunduk. Ia tau kesalahannya.

"Orang tua gue yang nyuruh mutusin Juna. Guenya gak mau, gen" lirih Arsa membuat Genta tak mampu menyudutkan gadis itu lagi.

"Manager gue bilang, dirumah Juna sekarang ada cewek lain, katanya anak Rajawali juga. Gue gak tau apa yang terjadi. Gue dengar katanya Juna nyuruh orang orangnya jagain ibu cewek itu dirumah sakit."

Genta memejamkan matanya sejenak. Mencoba memikirkan kalimat apa yang harus keluar dari mulutnya.

"Gen? gue gak suka Juna dekat sama cewek lain" kini Arsa menatap Genta penuh kecemasan.

"Tapi lo ngebiarin Juna ngeliat lo sama Varo" Arsa terdiam.

"Lo gak bisa mengandalkan katanya katanya dan katanya doang. Gue kenal Juna. Dan gue juga kenal lo, Arsa. Lo ngebuat Juna menyimpulkan ga ada lagi hubungan sedekat nadi antara lo dan dia. Dan mungkin ini memang skenario semesta. Ikuti aja prosesnya. Mungkin kecewa, tapi jangan berlarut" Arsa berhambur memeluk Genta. Arsa tak memedulikan sedingin apa tubuhnya yang sekarang memeluk tubuh Genta yang tak kalah dingin dari tubuhnya. Arsa terisak kecil dalam pelukannya. Genta tak membalas bahkan atau sekedar mengusap pelan punggung gadis itu.

"Pulang, udah malam" Genta melepaskan tangan Arsa dari pinggangnya.

Genta melangkahkan tungkainya masuk kedalam rumah nya. "Gue  dijodohin sm Fargha" ucapan Arsa berhasil membuat Genta diam ditempat dengan kedua tangan mengepal.

Genta berbalik badan. "Jauhin Fargha" ucap Genta tegas.

"Fargha nya juga gak mau sama cewek brutal kayak gue" Arsa tersenyum tipis lalu berjalan  melewati Genta yang masih tak bergeming ditempatnya.

Adaptasi Rasa •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang