Prolog

36 4 1
                                    

Langit yang  gelap berpadu dengan suara petir mengelegar bersaut- sautan dari atas. Cintya terbangun, melihat pepohonan tinggi di sekelilingnya dengan tatapan bosan. Wanita itu tahu dimana dirinya sekarang. Mimpi buruk yang terus menghantuinya selama bertahun- tahun setiap malam.

“Kalian tidak akan bisa mengalahkanku!” Suara bass yang dalam dari samping membuat Cintya berpaling. Di sana, tidak jauh dari tempat dia terkapar beberapa orang telah siap membentuk barisan melingkar mengelilingi seorang pria berbadan gempal, berkumis tipis dan jangut lebat.

“Ya, kami tahu. Tapi tidak berarti kami tidak bisa menahanmu.”
Cintya mendengar salah satu temannya bersuara. Kemudian sebuah selendang berwarna indah terbang melesat melewatinya, diikuti ratusan anak panah melayang dari langit. Seseorang berteriak padanya.

“SEKARANG!!!”

Cintya berdiri, maju menerjang dengan pedang di tangan. Gengamannya makin erat kala dia menusukkan benda itu tepat ke dada sang pria tua yang berperawakan mirip raksasa.

“ARGGGHHH!!” Pria melolong kesakitan, matanya yang merah menyala, menatap bengis ke arah Cintya. Dia membuat perlawanan, mendorong mundur Cintya dengan kekuatan penuh. Cintya hampir menyerah, sampai sebuah tangan membantunya. Cintya menoleh dan dia menemukan wajah adiknya Laks tengah tersenyum, kala darah mengucur dari bibirnya.

Air mata Cintya tak terbendung. Kemudian cahaya muncul dari balik pedang yang mereka tancapkan, bersamaan dengan itu tanah bergetar, menyerap sosok di depan mereka ke dalam gua yang gelap. Pohon di sekeliling mereka bergerak menutupi tempat itu hingga tidak lagi tampak.

Dia sempat mendengar pria tua itu bersumpah sebelum menghilang, “Aku akan kembali untuk menghabisi kalian semua!”
Kemudian semua menjadi sunyi. Cintya jatuh teduduk di tanah, menaggis deras, kala tubuh teman- temannya satu- persatu berjatuhan. Dia tidak sangup melihat, pemandangan yang sama yang akan membuat hatinya hancur. Dia hidup, sementara orang- orang yang dia sayangi terkapar tak bernyawa.

Sebuah tangan penuh luka mengapai- gapai, berusaha meraih jari manisnya. Cintya berpaling ke samping, matanya yang basah menemukan Rama, suaminya tengah tersenyum padanya. Cintya membalas gengaman erat tangannya tanpa bergerak.

“Jangan menanggis. Aku akan selalu bersamamu. Sudah ku bilang takdirmu dan aku tidak terpisah. Itu janjiku. Bahkan jika kamu melakukan kesalahanpun, aku pasti akan ada disana saat kamu menebusnya. Tunggu aku Sinta.” Saat kalimat itu selesai, pria itu tersenyum lagi lalu tangan dingin itupun jatuh ke tanah.
Air manta Cintya makin menanggilr deras, dia menjerit dan meraung. Tapi seberapa keraspun dia berteriak, tidak akan ada yang mendengar. Semua orang telah mati, hanya dia yang tersisa untuk menjalani kutukan ini.

TIN!
TINNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN!!!!!!!

Suara klakson yang sangat nyaring membuat Cintya terbangun dengan tidak etis. Terjerebab di kolong mobil sembari menunging dengan wajah menempel pada karpet kotor di bawah.

“WHAT THE-!” Sembari mengumpat Cintya meraih pegangan pintu, membalik tubuh kurusnya untuk bangun dan menghadapi sang sumber bencana.

“YAH! KENTUNG! KAMU MAU BIKIN AKU MATI YAH! MAU KU PECAT SEKARANG JUGA?” Dia memukul- mukul lengan supir berbadan gempal yang hanya terkikik menangapinya.

“Maap bos, kita sudah sampai.” Kata- kata halus dan sopan dari sang sopir tampak tidak pas terutama saat sang sopir gemuk mengatakannya dengan senyum puas dan wajah tidak bersalah.

“KAMU INI DI BAIKIN PALA NGLUNJAK! KALAU TERUS BEGINI AKU PECAT KAMU BENERAN!”

“Heeee, janganlah boss. Boss kan uda cantik, baik lagi, mana mungkin tega lihat istri dan anak- anakku kelaparan.”

Love & Curse Of The Seven KnightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang