Prolog

673 102 34
                                    

|Selamat Datang|

Yuk bantu Raya dan teman-temannya
sampai chapter terakhir!

Selamat membaca.

•°•°•°•

"Dunia emang terlalu keras buat orang lemah kaya gue, Ray. Orang emang datang dan pergi, tapi ini terlalu banyak. Gue gak bisa bertahan lebih lama, gue udah terlalu rusak untuk benturan-benturan yang mungkin akan datang nantinya."

•°•°•°•

Ah, Raya merasa menyedihkan saat ini. Cuaca yang ia pikir akan teduh ternyata tetap sama saja. Sore penuh keringat, Raya berlari sore karena berat badannya yang naik selepas jamuan di rumahnya beberapa hari lalu.

"Panas banget sih," keluhnya. Ia mengelap keringat yang mengalir di dahinya. Ia sudah berkeliling di taman ini sekitar tiga kali. Ia memutuskan untuk duduk di kursi kosong yang ada di taman itu. Menyeka keringatnya dengan handuk dan menenggak sebotol air mineral.

Ia tersenyum melihat tingkah anak kecil yang tengah bermain bersama anjing poodle berwarna coklat. Cukup untuk menghilangkan stress nya. Sekarang sudah pukul tiga sore.

Raya berpikir cukup untuk hari ini. Mungkin juga berat badannya sudah sedikit turun untuk hari pertama sekolahnya besok. Iya, akhirnya Raya akan kembali ke sekolah.

Raya melotot.  Matanya memperhatikan sosok laki-laki yang tergeletak tak sadarkan diri.

Apa benar yang ia lihat saat ini adalah kepala manusia di tengah semak-semak. Raya menyemburkan air minum yang ada di mulutnya.

"ITU MAYAT?!" pekiknya. Ia mendekat hati-hati takut juga jika orang itu ternyata mati karena terpapar virus. Hahaha omong kosong, Raya.

Raya mendekatkan jari telunjuknya ke bawah hidung orang itu. Raya menghembuskan napas lega karena orang itu masih hidup.

"Kalo ni orang mati, gue bisa dituduh pembunuh anjir!" Raya cemas dan memilih untuk memungut manusia itu. Luka di dahinya juga cukup parah. Raya harus memberikan pertolongan.

Raya meraih ponselnya dan menelpon seseorang.

"Lo bisa ambil gue di taman deket rumah?"

"...."

"Lo gila?! Bertiga lagi jalan-jalan? Kenapa gak bilang ke gue tolol!" Raya buru-buru menekan tombol merah. Raya rasa ia yang harus membawa laki-laki ini sendiri.

Raya tidak keberatan membawa laki-laki itu di punggungnya, tapi kenapa laki-laki ini begitu tinggi? Terpaksa kakinya harus terseret di tanah.

•°•°•°•

"Argh," Gama bangun dari tidurnya sambil merintih memegang kepalanya. Bagaimana bisa sudah ada perban tertempel di kepalanya. Ia membuka matanya dan memperhatikan sekelilingnya.

"Lo udah bangun?" Gama terperanjat kaget. Melihat seorang cewek yang tengah duduk di sebuah kursi gaming dengan sebuah buku di tangannya.

"Lo siapa?" Raya mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan itu.

"Gue? Gue Raya."

"Gue bukan nanya nama lo. Maksudnya lo kenal sama gue?" Raya langsung menggeleng. "Trus kenapa lo bawa gue ke sini?"

"Bersyukur kenapa sih mas? Mas tadi udah kaya mayat di tengah jalan tau gak? Eh- di tengah semak-semak!"

"Oh itu," Gama ingat ia memang bertemu perampok yang sempat dilawannya namun gagal.

"Gue harus pulang," ia ingat jika ia masih punya urusan dan tidak bisa menghubungi siapa-siapa setelah ponselnya hilang.

"Yakin? Yakin ga akan digebukin orang lagi? Atau mau gue anterin?" Gama mrnatap remeh cewek di depannya ini.

"Lo masih bocah ga usah berlaga mau nganterin gue pulang," Gama bangkit dari ranjang yang sedari tadi ia tiduri. Ia mendekat ke arah Raya dan mengacak rambut Raya pelan.

"Nama lo, Raya kan? Sampai ketemu nanti," Gama keluar kamar Raya segera melalui jendela.

Kenapa wajah Raya jadi memerah seperti ini. Hanya karena usapan menyebalkan di atas kepalanya dan satu kalimat yang orang itu katakan membuatnya memerah tomat.

"Eh-eh jaket lo!" Raya berteriak keluar dan ternyata laki-laki itu sudah jauh.

|See you!|

Follow Instagram @pataha.n

Hello, Raya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang