Bab 1 (Mellyeza)

27 13 24
                                    

Menatap bangunan yang berada dihadapannya dengan ragu. Jika tidak karena keadaan yang mendesak, gadis itu tidak akan pernah menginjakkan kaki ke bangunan ini. Tidak pernah sedikitpun ada pemikiran untuk melamar kerja disini. Bahkan gadis itu harus rela meninggalkan pekerjaan lamanya demi mamanya.

'Rumah Sakit Jiwa'

Mendengar nama bangunan itu saja sudah membuatnya merinding. Bagaimana bisa mamanya yang ia kenal selalu tegar ternyata mengalami sakit jiwa? Walau terkadang mengeluh pusing, namun tidak pernah menunjukkan depresi berat hingga percobaan bunuh diri di depannya. Ingatannya kembali ke percakapan lewat telepon seminggu yang lalu membuatnya harus melamar kerja di tempat ini.

.
.
.

_Gadis dengan pakaian kerjanya itu terus menampilkam senyum indahnya pada pelanggan. Cafe di tempatnya bekerja hari ini terlihat lebih ramai dari sebelumnya membuatnya lebih semangat. Setidaknya dari hasil kerja ini bisa membantu mamanya untuk berobat ke dokter. Ia merasa sudah sebulan ini mama terus mengeluh pusing dan menjambak rambutnya membuatnya tidak tega dan memutuskan untuk bekerja._

_"Mel, ada telepon!" seru teman sekerjanya. Farah. Gadis ber-namtag Camellia itu menoleh ke sumber suara dan mendekat. Dahinya mengerut menandakan ia sedang bingung._

_"Dari siapa?"_

_Farah hanya mengedikkan bahunya lalu menyerahkan telepon genggam itu pada Camel. Mengehela nafas pelan, Camel tersenyum dan mengambil alih telepon itu dari tangan Farah._

_"Halo--"_

_"Mama mu baru saja dibawa ke rumah sakit jiwa karena percobaan bunuh diri, pihak keluarga mama yang telah memasukkan mama ke sana dan bilang jika kamu juga setuju sama ini. Saya tahu kamu belum mengetahui apapun, segeralah kesana nak, bantu mama mu untuk sembuh...."_

_Perkataan Camel terpotong oleh suara dari seberang.  Tangannya bergetar saat baru saja mendengar perkataan seseorang di ponselnya. Kabar yang disampaikan lewat benda mati itu sungguh mengejutkannya. "Tidak mungkin...," lirihnya pelan. Setetes air mata pun lolos jatuh di pipi kanannya disusul dengan air mata yang lain._

_Mendengar alamat rumah sakit yang baru saja disebutkan penelpon yang ternyata tetangganya, ia langsung menutup telepon itu secara sepihak dan meletakkannya kembali pada dinding. Camel lupa mengucapkan terimakasih pada tetangga sebelah rumahnya itu. Ia terlalu takut hingga tidak bisa berpikir jernih._

_Bisakah ia mempercayai ini?_

_Farah yang masih berada disebelahnya itu terkejut karena tidak sengaja mendengar pembicaraan Camel. "Pergilah, Mel. Aku yang menggantikan pekerjaanmu."_

_Camel menoleh dan tersenyum, "Makasih, Far," katanya lalu meninggalkan tempat kerjanya menuju tempat dimana mamanya dirawat._

.
.
.

Camel memejamkan mata sebentar, mencoba untuk tenang dan menerima kenyataan. Ini takdirnya. Apapun kenyataannya harus ia terima dan apapun tantangannya harus ia lewati dengan kepala dingin agar tidak salah untuk mengambil keputusan.

Sebenarnya, sehari setelah kabar itu disampaikan padanya, besoknya adalah hari dimana wisuda kuliahnya dilaksanakan. Tentu ia sedih karena tidak ada yang mendampingi saat hari kelulusannya. Disaat semua orang berfoto ria bersama keluarga, ia hanya diam dan duduk memandangi temannya.

Sudah seminggu kabar mengejutkan itu berlalu, dan seminggu pula ia terus mengunjungi mamanya. Keadaan makin parah. Ia sungguh tidak tega melihat sosok yang paling banggakan masuk di tempat menyedihkan ini. Jika ada orang yang membuat mamanya begini, ia bersumpah tidak akan memaafkan orang itu sekalipun dia orang terdekatnya.

Love, Hate or Death (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang