Bab 3 (Sandi)

10 5 8
                                    


Camel tersenyum. “Salam kenal juga Kafka. Sini duduk.” pintanya sembari menepuk bangku kosong di sebelahnya.

“Terima kasih Meli,” ujar cowok berambut cepak yang belum menyadari perubahan ekspresi gadis di sampingnya.

Camel berdiam diri sebelum tubuhnya berdiri tegap dan kedua matanya menyorot tajam dan kembali tertutupi oleh cairan bening. Kafka yang melihatnya pun merasa bingung saat kepalan tangan gadis yang baru ia kenal sangat kuat.

“Hei ada apa?”

Dada Camel narik turun menandakan dia sedang menahan emosi. Ditudingnya Kafka dengan jari telunjuknya. “Jangan pernah panggil aku Meli!”

Kafka menautkan kedua alisnya sembari menggeleng pelan dia menjawab, “Aku tidak mengerti,”

“Panggil aku Camel,” ujarnya menekankan setiap kata.

“Ba-baiklah Camel. Maafkan aku.” Sesal Kafka dengan kebingungannya.

Camel memejamkan kedua mata untuk meredakan emosi yang masih dirasa. Setelah cukup ia menghapus bekas air mata yang ada di pipinya. Dia menoleh ke samping menatap Kafka yang juga menatapnya dengan sendu.

Gadis berambut cepol itu menarik napas panjang sebelum kembali duduk. Dia kembali menatap Kafka yang sudah memalingkan wajahnya.

“Maaf Kafka. Aku gak bermaksud ngebentak kamu. Maafin aku.”

Kafka menoleh saat mendengar nada penuh penyesalan itu, cowok itu tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa, harusnya aku yang minta maaf.” Katanya sembari mengangkat wajah Camel yang menunduk.

Camel menggeleng keras. “Tidak—tidak. Kamu tidak salah. Hanya saja itu panggilan untuk keluargaku.”

Kafka mengangguk mengerti. “Yasudah tidak ada yang salah di sini. Oke?”

Camel menatap Kafka sesaat sebelum kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat rambut cowok itu terkena angin. _Tampan_

“Astaga Camel!!” pekik Kafka yang membuat Camel terkejut.

“Ada apa Kafka?”

“Aku melihat bidadari di depanku.”

Camel menonjok bahu Kafka saat tau sedang digombali cowok berkemeja kotak-kotak itu. Namun, tidak memungkiri bahwa Camel tersenyum dengan candaannya.

“Dasar ya raja gombal.”

Kemudian pecahlah sudah tawa mereka di taman rumah sakit itu tanpa menyadari ada bayangan hitam yang menatap dengan tatapan benci dan penuh dendam.

***

Pukul lima sore pekerja rumah sakit shift pagi telah usai. Mereka bersiap untuk pulang ke asrama namun berbeda dengan Camel yang memilih untuk memantau Ibunya.

“Camel, kamu tidak berkemas?”

Merasa ada seseorang di belakangnya, gadis itu menoleh menatap Cempaka yang sudah membawa tas kerjanya.

“Kamu duluan saja,”

“Mau aku temani?” tawar Cempaka.

Camel tersenyum. “Tidak usah, aku hanya sebentar. Setelah itu aku akan kembali ke asrama.”

“Baiklah. Hati-hati. Jangan melamun kau harus ingat sedang berada di mana.”

“Iya. Terima kasih,”

“Yasudah. Aku pulang, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku.”

Camel senang mendapat teman baik hati seperti Cempaka. Gadis yang baru dikenal belum ada satu hari itu menunjukan keramahan dan kebaikannya.

Love, Hate or Death (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang