Camel melihat ibunya seperti berteriak histeris. Dia mengacak acak rambutnya terkadang menjambak sendiri."Ibumu Camel!" tunjuk Syifa.
"Ayo ke sana!"
"Mana Rendi?" Camel celingukan mencari Rendi tapi, Syifa berkata agar tidak memedulikan Rendi dulu. Ibunya Camel yang lebih penting.
Mereka berdua berlari menuju ruangan di mana ibunya Camel tidur. Teriakan yang awalnya sayup terdengar sekarang semakin jelas di telinga.
"Tidak! Tidak! Tidaaakk!"
"Jangan dekati anakku! Jangan dekati dia!"
"Pergi kamu bedebah sialan!"
Camel bergetar, hatinya begitu miris mendengar teriakan dari ibunya.
"Cepat buka pintunya!" Camel berteriak parau.
Dengan sigap Syifa meraih kunci yang ada di kantong jubahnya lalu memilah-milah kunci yang pas.
"Cepat!"
"Tunggu. Aku masih mencari nomornya."
Setelah terbuka, Camel segera menerobos pintu tersebut dan yang ada di hadapannya adalah persis seperti yang ada di layar monitor.
"Sialan! Pergi kau bedebah!" Ibunya Camel meraih apapun yang ada di sampingnya dan melemparkan pada Camel dan Syifa.
"Cepat ikat!" Syifa berkata pada Camel. "Camel!" teriak Syifa yang melihat Camel mematung.
Camel tersadar dari lamunannya lalu bergerak menuju ibunya. Butuh perjuangan yang keras agar ibunya bisa di ikat lalu disuntik obat penenang.
"Apa yang terjadi?" Tiba-tina Rendi masuk mengejutkan mereka.
"Ibunya Camel. Mungkin dia terkejut karena listrik padam," jelas Syifa.
Tanpa diduga, Camel berbalik pada Rendi dan memghampirinya dengan kepalan tangan yang siap meninju.
"Tadi kamu ke mana?" Camel melangkah pelan.
"Aku ada bersama kalian."
"Setelah listrik padam." Suara Camel begitu berat menahan amarah.
"Aku segera berlari ke arah pusat daya untuk menghidupkan listrik darurat dan ternyata listrik utama tidak terjadi kerusakan apapun."
"Benarkah?" Camel tersenyum menyungging. "Karena memang kamu yang mematikan daya tersebut lalu meneror ibuku!?" teriak Camel lalu menerjang Rendi dengan memberi pukulan tepat di rahangnya. Ya! Tepat! Inilah keuntungannya jika wanita bisa seni bela diri.
"Camel udah! Hentikan!" Syifa menjerit histeris melihat Camellia terus menghajar Rendi tanpa ampun.
"Ada apa ini!?" Teriakan seseorang dari arah luar menghentikan pukulan Camel.
****
"Apa katamu? Teror? Mana ada teror! Di sini. Rumah sakit ini dijaga ketat oleh banyak kamera dan banyak petugas jaga di luar. Kamu masih bilang kalau kegilaan ibumu disebabkan teror?" Kali ini Camel sedang dihakimi oleh suster kepala karena kedapatan sedang memukuli Rendi.
"Memang benar, dan pelakunya Rendi. Dia yang melakukan teror itu." Camel menyeruakan pembelaannya.
"Mana buktinya?" Sontak saja Camel diam. Sebab dia tak pumya bukti kuat, semua itu masih asumsinya belaka. "Tidak ada!"
"Tapi–."
"Hentikan ucapanmu! Jangan pernah sangkut pautkan kegilaan ibumu dengan teror itu–."
"Ibu saya tidak gila Suster!" Camel menggebrak meja. "Dia hanya sakit karena terus mendapatkan teror selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya dia stress dan kehilangkan kontrolnya." Camel menangis tergugu.
"Baiklah jika kamu masih keukeuh dengan asumsimu. Hanya saja jangan pernah melakukan apa yang tadi kamu lakukan. Jika itu terjadi lagi, kamu akan dipecat dan tidak akan diperbolehkan melihat ibumu lagi."
"Oh, iya silakan kamu beristirahat saja malam ini biarkan Syifa dan Rendi saja yang berjaga. Saya akan pulang. Selamat malam."
Camel mengangguk lalu keluar bersamaan dengan suster kepala dari ruang kantor. Camel masih saja tergugu menahan tangisnya sepanjang dia ke asrama.
Sesampainya di kamar, camel tak melepaskan pakaian kerjanya hendak segera tidur jika saja dia tidak melihat selembar kertas tergeletak di bawah ranjangnya. Segera Camel menyambar kertas tersebut dan membacanya.
*Rufandi Dhiradja*
*jalan Cantokak, nomor 13 komplek Picung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate or Death (End)
Misterio / SuspensoTidak pernah ada cerita bahagia dalam hidup Camellia. Hidupnya gelap, penuh ketakutan. Jalannya buntu dan dipenuhi lorong teror. Kafka hadir ditengahnya. Bersama beban yang terus menghimpit, Kafka mulai menarik Camellia dari lorong gelapnya. Membawa...