"Terima kasih." Camel turun dari taksi yang dia tumpangi. Meski ini bukan kali pertamanya dia ke sini. Tetap saja, yang namanya rumah sakit itu selalu memcekam bagi Camel. Ya, meskipun bukan phobia, tetap saja rasa takut itu ada.Camel memasuki gerbang rumah sakit. Sepi. Itulah yang ada di benak dia dan sekarang hari apa? Tumben sekali rumah sakit ini sepi. Kemarin-kemarin pas Camel besuk selalu ada orang mau satu atau dua orang. Tanpa sadar, langkah kaki Camel sudah sampai di tempat administrasi.
"Ah, Camellia. Tidak biasanya kamu jenguk jam segini." Seorang suster yang duduk di bagian administrasi menyapa.
"Ah, eh ....." Camel tertawa garing. "Tidak. Aku ke sini mencari kepala suster. Soalanya aku melamar kerja di sini."
"Apa?!" Suster itu berteriak kaget. "Kamu ngelamar kerja di sini? Dan kamu diterima?" Camel hanya mengangguk sebagai tanda iya.
Ketika suster tersebut hendak berbicara, kepala suster datang dan mengajak Camel keliling. Di perjalanan pun tidak banyak pembicaraan selain kepala suster yang menjelaskan ini itu. Tentang apa saja yang harus Camel kerjakan sebagai suster di sini. _Well,_ meski tidak mudah, Camel hanya di disuruh untuk mengajak para pasien yang tingkat gangguan kejiwaannya masih bisa ditangani atau dalam kata lain pasien seperti ini kebanyakan diam atau bermonolog.
"Kalau ini apa Suster Kepala?" Camel dia di hadapan ruangan yang sebagaiannya terdapat kaca tebal dan di dalamnya hanya terdapat sebuah ranjang dan kursi kecil.
"Itu ruang terapi. Jika tingkat gangguan kejiwaannya lebih tinggi dan dia sering mengamuk, dipastikan dia akan dimasukkan ke sana. Itu cukup efektif dengan diberi suntikan penenang dan aroma terapi agar menstimulus otaknya agar lebih rileks."
"Dan ibuku pernah dimasukkan ke sana?" tanya Camel lagi.
"Untuk sekarang tidak. Ibumu hanya meracau tidak jelas dan tidak mengganggu siapapun. Jadi dalam kata lain ibumu masih bisa ditangani tanpa obat dosis tinggi."
Selepas itu, perjalanan kembali di lanjutkan. Camel di bawa ke sebuah asrama, letaknya lebih belakang atau bahkan di bawah tanah? Camel tidak tahu persis letaknya di mana.
"Ada enam kamar. Setiap kamar bisa menampung empat orang. Kamu bebas pilih yang mana saja aku akan pergi dulu." Kepala suster yang hendak pergi berbalik kembali. "O, ya. Kamar pertama sampai tempat sudah penuh. Dan di kamar lima hanya di isi oleh satu orang."
"Baik, terima kasih Suster Kepala."
Suster Kepala mengangguk. "Heh. Bereskan barangmu dulu. Nanti jam sepuluh kamu ke kantor saya."
Setelah kepergian suster kepala. Camel memasuki kamar kelima atau tepatnya memang bernomor lima itu. Suasana mencekam begitu kentara, apalagi kamarnya yang paling ujung dan sangat dekat dengan gudang yang minim akan pencahayaan. Segera Camel memindahkan bajunya yang di koper ke dalam lemari plastik setinggi dadanya. Sedang asyik-asyiknya Camel merapikan pakaian, seseorang masuk dan itu membuat Camel menjerit takut begitupun orang yang membuka pintu.
"Siapa kamu?" tanya Camel masih menetralkan degub jantungnya.
"Harusnya aku yang bertanya gitu. Ngapain kamu ada di kamarku?" Di situlah Camel baru sadar kalau perempuan yang ada di hadapannya adalah _roommatenya_. Camel tersenyum sumringah dan memerkenalkan dirinya. "Camellia. Kamu?"
"Wenriandini. Sering dipanggil Weri."
"Ah, baiklah Weri. Panggil saja aku Camel. Aku suster baru di sini. Jadi, mohon bantuannya, ya ...!" seru Camel dan menjabat tangan Weri.
****
Sesuai instruksi, Camel datang ke kantor suster kepala dan dia dikenalkan ke semua pegawai di rumah sakit. Sekarang dia ada di ruangan khusus para pasien berinteraksi. Ya, meski terkadang pasien-pasien tersebut di bawa ke luar ruangan agar lebih dekat dengan alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate or Death (End)
Mystery / ThrillerTidak pernah ada cerita bahagia dalam hidup Camellia. Hidupnya gelap, penuh ketakutan. Jalannya buntu dan dipenuhi lorong teror. Kafka hadir ditengahnya. Bersama beban yang terus menghimpit, Kafka mulai menarik Camellia dari lorong gelapnya. Membawa...