"Akhirnya kamu sadar...."Mata bulatnya mengerjap beberapa kali mencoba untuk memulihkan pandangannya yang sempat buram. Tatapan bingung sekaligus takut ia tujukan pada Kafka.
"Dimana Weri? Mengapa hanya kau yang ada di kamarku? Bawa aku keluar dari sini! Aku tidak mau disini!"
Kafka dengan sigap langsung menenangkan Camel yang ketakutan. ia mengelus pelan bahu Camel yang terlihat bergetar. Merasa iba dengan keadaan teman barunya itu.
"Tenangkan dirimu, Mel. Tulisan itu sudah kuhilangkan. Jangan takut, aku akan selalu ada untukmu. Karena mulai saat ini, kau adalah sahabatku." katanya sembari tersenyum pada Camel. Senyuman itu membuat hati Camel menghangat. Rasa takutnya perlahan menghilang hanya karena senyuman seorang Kafka.
"Lalu, dimana Weri?" Tanya Camel. Ia tidak merasakan kehadiran teman sekamarnya sejak tadi.
"Ah, tadi dia berkata padaku jika ia hari ini akan menginap di rumah orang tuanya."
Camel hanya tersenyum kecil saat mendengar penjelasan Kafka. Mungkin Weri merindukan orang tuanya. Ah... Ia jadi rindu saat dimana keluarganya berkumpul lengkap. Mungkin momen itu tidak akan terulang lagi. Bahkan, Camel saja tidak tau dimana ayahnya berada.
Melihat Camel yang murung, Kafka memutar otaknya agar bisa membuat senyum Camel kembali terbit. Ia tersenyum lebar saat mendapatkan ide yang bagus.
"Mau keluar bersamaku?"
*******
Disinilah mereka berada. Terlihat simpel namun menenangkan. Pohon pohon terlihat menari mengikuti arah angin menjadi salah satu penyebab dinginnya malam hari. Rumput hijau mengelilingi dua insan yang masih diam menatap indahnya malam hari ini. Sang langit malam juga ikut adil dalam keindahan malam ini.
"Cantik," gumam Camel sambil tersenyum menatap pemandangan di depannya. Taman yang mereka kunjungi sepertinya sangat cocok untuk menenangkan diri.
"Iya, seperti kamu," celetuk Kafka membuat Camel terkekeh pelan. Sepertinya ia harus terbiasa dengan sifat Kafka yang suka sekali menggombal. Tiba tiba Camel teringat perkataan Kafka beberapa jam yang lalu.
"Kita sungguh bersahabat? Maksudku, kenapa kamu tiba tiba mau bersahabat denganku? Bahkan kita saja baru bertemu."
Kafka tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan Camel padanya. "Karena aku pernah berada diposisimu. Orang tuaku sudah tiada. Aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu saat ini. Maka dari itu, aku disini untuk menghiburmu, Camellia."
Camel terharu mendengar perkataan Kafka. Ia juga baru tau jika Kafka ternyata yatim piatu. Teman macam apa dia?
"Maaf, aku... aku baru tau jika kamu--"
"Bukan salahmu Mel, aku memang baru cerita ini. Sekarang waktunya kamu untuk bercerita, biar adil," kata Kafka sambil tersenyum lebar hingga terlihat deretan giginya. Camel pun membalas senyum itu.
"Papa pergi dari rumah saat aku masih berusia 6 tahun...,"
Menarik nafas pelan, ia kembali melanjutkan cerita yang ia alami pada Kafka tanpa terkecuali. Entah mengapa ia merasa Kafka adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman curhat. Camel mendongak menahan air mata yang hendak jatuh namun gagal.
Kafka masih menjadi pendengar setia Camel. Ia tidak memotong perkataan Camel sedikit pun, karena ia menghargai usaha gadis di depannya yang tetap bercerita walau dengan suara serak karena menangis.
"Aku tidak mengerti mengapa Mama di teror seperti ini... Mengapa Papa pergi dari rumah, dan mengapa aku juga terkena teror itu...,"
"...jika Papa memang bersalah, mengapa harus Mama yang terkena imbasnya? Hanya Mama yang ku punya saat ini...."
Camel menutup wajahnya dengan kefua telapak tangannya. Tangisnya semakin deras membuat Kafka reflek memeluk gadis itu.
"Kamu punya aku sekarang, Mel. Jangan menangis lagi. Wajahmu jelek jika menangis." Goda Kafka sambil mengelus surai hitam rambut Camel. Camel memukul pelan punggung Kafka lalu melepaskan pelukan itu dan menatap ke depan.
Merasa terus ditatap oleh Kafka, ia akhirnya menoleh kesamping membalas tatapan itu, "Kenapa menatapku?"
Tidak menjawab, hanya terus menatap Camel yang bingung dibuatnya. Salah satu jantung diantara mereka berdetak dua kali lebih cepat.
Ya, itu milik Kafka.
Ia bahkan tidak pernah merasakan ini sebelumnya.
'Ada apa denganku?'
*******
"Ma, apa kabar?"
Camel memasuki ruangan dimana mamanya berada. Walau terlihat sedih dengan keadaan yang menimpa mama, tetapi ia tidak menunjukkan itu di depan mamanya.
Melihat sang mama hanya diam meringkuk di atas kasur ia hanya bisa menghela nafas pelan. Matanya tertuju pada satu kertas yang jatuh di bawah lantai. Firasatnya langsung tidak enak saat melihat kertas itu. Dengan cepat, ia mengambilnya dan membancanya.
*Mungkin ini belum seberapa, karena maut akan datang lebih cepat padamu.*
Bruk!
Camel telonjak kaget saat melihat tubuh sang mama jatuh ke lantai. Dengan cepat ia membantu sang mama untuk kembali keatas kasur namun langsung ditepis olehnya. Mama berlari kesudut ruangan dan memukuli kepalanya sendiri dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain menggenggam secarik kertas yang sudah Camel duga jika isinya teror lagi. Camel merasa sedih dengan keadaan mamanya yang semakin memburuk.
"Mama, kumohon jangan seperti ini...," tangis Camel pecah. Ia tidak sanggup melihat mamanya yang terus memukuli kepalanya sendiri.
"Ma, hentikan!"
"Kumohon...."
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, kumohon...."
"Aku sayang mama."
Mata Camel tertuju pada kertas yang di genggam mamanya. Ia berteriak kencang saat tak sengaja melihat isi dalam kertas itu. Darah yang masih segar terpampang jelas dimatanya. Ia langsung berjongkok dan menutupi wajahnya sambil terisak. Tiga orang perawat yang mendengar teriakan itu langsung saja masuk kedalam ruangan.
"Astaga, Camel!" Cempaka langsung mengahampiri gadis yang berjongkok dekat ranjang pasien. Sedangkan Weri, dan seorang pria ber nam-tag Rendi itu menghampiri Mama Camel yang masih memukuli dirinya sendiri.
"Apa yang terjadi? Mengapa Mamamu bisa seperti ini?" tanya Weri saat selesai menyuntikkan obat penenang pada Mama Camel.
"Mereka... Kembali meneror mamaku," ucap Camel dengan suara parau.
Weri menghembuskam nafasnya kasar. "Mengapa orang itu terus meneror Mamamu? Tidak puaskah dia membuat keadaan mamamu seperti ini? Aku sungguh kesal demgan dia!"
"Aku tidak tau. Dia bahkan juga menerorku."
Cempaka dan Weri sontak membelalakan matanya saat mendengar perkataan Camel. Sedangkan Rendi hanya menyimak pembicaraan ketiga orang itu. Mama Camel yang terlelap sudah dipindahkan oleh Rendi pada ranjang pasien.
"Dia menerormu juga? Gila!"
Camel berdehem pelan sebagai jawaban. Saat ingin melihat keadaan mamanua, manik mata Camel tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya curiga. Bekas luka di tangan rendi, terlihat seperti luka yang masih baru. Bekas merah di jari Rendi juga membuatkan makin curiga.
Kecurigaan Camel semakin besar di kala tatapan mereka bertemu, Rendi langsung memalingkan wajahnya dari Camel.
"Kamu--"
"Sepertinya sudah masuk jam istirahat, aku pergi dulu."
Perkataan Camel terpotong oleh ucapan Rendi membuat Camel mendengus kesal.
Apa benar Rendi orangnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate or Death (End)
Gizem / GerilimTidak pernah ada cerita bahagia dalam hidup Camellia. Hidupnya gelap, penuh ketakutan. Jalannya buntu dan dipenuhi lorong teror. Kafka hadir ditengahnya. Bersama beban yang terus menghimpit, Kafka mulai menarik Camellia dari lorong gelapnya. Membawa...