CHAPTER 3

16 2 5
                                    

Bella's POV

Aku tidak pernah terlalu memikirkan bagaimana kiranya rupaku ketika aku mati nanti. Dan aku tidak pernah berpikir akan ada saatnya ketika aku mengutip ucapan dari Bella Swan.

Aku melakukan semua hal diatas ketika aku menatap bajunya dengan tatapan dingin. Aku begitu menyedihkan.

Aku berharap setidaknya dia akan membiarkanku mengucap selamat tinggal kepada orang yang aku cintai sebelum aku meninggalkan dunia ini.  Tapi aku kira itu adalah ide yang buruk, takut mulutku akan mengungkapkan rahasianya alih-alih selamat tinggal.

"Apa yang kamu inginkan?" Aku menuntut saat aku menggeliat dalam cengkeramannya yang kuat. Aku mencoba untuk menjaga ketenanganku dan tidak membiarkan rasa takut ini menyerah, meskipun menggigil tidak karuan.

"Itu yang harus aku tanyakan," dia tertawa kecil dan menyeringai.

"Aku tidak ingin mati, jadi tolong jangan bunuh aku." aku menggerutu, namun dia hanya diam. Aku tidak bisa mengukur reaksinya karena kegelapan dari lorong ini. Lantas cahaya bulan nampak murung, ia hanya menyoroti kehadiran kami yang terselubungi hijab oleh dinding tangis kebencian.

"Kenapa kamu hanya diam?" Aku bertanya dan menelan ludah.  Ketenangan yang ia buat malah lebih menyentak jantungku menjadi semakin bergemuruh.

"Tidak ada yang merencanakan pembunuhan dengan keras," ucapnya  dengan nada serius. Mataku melebar karena terkejut. Rasa takutkù semakin meningkat dan aku baru saja akan memohon padanya untuk melepaskanku ketika dia tertawa terbahak-bahak tanpa melonggarkan cengkeramannya sedikitpun. Suara itu bergema dalam kegelapan kosong.  Aku merasa bodoh, dan lebih dari bodoh. Takut setengah mati.

Tawanya mereda setelah beberapa saat, dan dia menyeringai padaku.  Haruskah aku nyengir kembali? Itu bodoh, jadi aku hanya mengerutkan kening.

"Jika kamu memberi tahu semua orang kalau aku adalah Leonard Salamander, aku bersumpah aku akan memberimu kematian yang mengenaskan." Dia mengancam dengan nada dingin dan keras. Hal yang paling membuatku takut adalah kedinginan yang keluar dari matanya yang kelabu. Rasa dingin mengalir di tulang punggungku karena pandangannya yang tajam.

"Mengapa kamu bertarung?" Aku berseru tanpa berpikir panjang dan menghukum diriku sendiri karena kesalahan ini.

"Pernahkah kamu mendengar rasa ingin tahu yang membunuh kucing itu?" Aku seharusnya tidak tinggal selarut ini untuk membantu Kayla dengan klub sainsnya. Aku membenci diriku sendiri karena tidak menerima tumpangan darinya.

"Tapi kepuasan membawanya kembali," aku balas ketika tatapannya terpaku dimataku dan dia menyeringai.

"Lucu," dia terkekeh.

"Pintar, tidak lucu." aku mengerutkan kening. Tidak ada yang lucu tentang situasi ini.

"Seperti halnya aku ingin tinggal disini dan mengancammu, aku harus pergi." Dia mengedipkan matanya padaku dan melangkah mundur, menjaga wajahnya yang kokoh menatapku.

"Aku akan merindukanmu," aku mencibir sarkastis dan menggosok tanganku untuk mendapatkan darah mengalir yang terhalang oleh cengkeramannya yang kuat. Dramatis. Hidup memang penuh dengan drama.

"Sampai jumpa, gadis yang baik." dia memberikù hormat dua jari.

"Kuharap tidak pernah, dasar kutil kerbau yang buruk," Aku menatapnya dan dia tertawa penuh lalu berjalan pergi. Kutatap langit untuk melihat apakah Tuhan melihat semua ini.  Tentu saja dia melihat semua itu dan menikmatinya juga.

Pertemuan ilahi-ku terganggu ketika ponsel di saku mulai menggelegar, 'AYE AYE' dan membuatku terperangah. Nama Will muncul berkedip di layar. Bagus, sejumlah uang akan membuatku kembali dalam suasana hati yang bahagia.

Bad Boy, In action!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang