Petrichor (n.)
"The wonderfull smell in the air after it's been raining"
ㅡJingga Maheswari (dipanggil Jima), 20 tahun, semester 2 jurusan Akuntansi Universitas 101
Berlatar waktu tahun 2022
Siang menjelang sore itu hujan turun dan gue sekarang sedang duduk menunggu hujan reda bersama salah satu kakak tingkat yang kebetulan juga kakak kelas gue sewaktu SMA. Gue si anak ekonomi entah kenapa bisa duduk bareng dengan anak teknik sipil yang jelas-jelas beda lokasi gedung fakultasnya.
Oh ya, gue lupa kalau kakak yang satu ini adalah salah satu anak hits yang fotonya sering terpajang di akun instagram 101.ganteng dan 101.hits
Lihat saja, sejak kita berdua duduk berhadap-hadapan tiga puluh menit yang lalu, banyak mahasiswa—yang juga berteduh di tempat yang sama menyapanya, mulai dari mahasiswa baru—lebih tepatnya mahasisWI hingga orang-orang yang dari hawa-hawanya gue rasa sudah sangat senior disini.
Tiga puluh menit kita berdua duduk bersama, kita cuma bertukar kata pada saat awal bertemu dan dia yang minta izin duduk di hadapan gue.
Tiga puluh menit gue habiskan buat duduk menopang dagu sambil memandangi hujan yang masih dengan stabilnya turun—tipikal hujan pembawa sakit, tidak terlalu deras tetapi tidak bisa dikatakan gerimis.
Tiga puluh menit gue habiskan untuk kembali memasuki ruang waktu, dimana mengingat momen-momen gue bersama seseorang yang selalu membuat gue suka dengan hujan. Kembali ke masa SMA yang gue habiskan penuh suka
dan diakhiri dengan duka—
Tidak, sebenarnya kata duka tidak cocok untuk gue sematkan disitu,
menyedihkan gue rasa lebih pas.
Karena memang pada saat itu gue hanya bisa menangisi kepergiannya tanpa bisa memintanya agar selalu berada di sisi gue,
Dia pergi dan gue merasa kalau itu yang terbaik buat dia.
Tiga puluh menit gue menjelajahi waktu dan di tiga puluh menit itu pula gue kembali merindukannya.
Hujan mereda, satu persatu meninggalkan kantin fakultas gue, sebagian ada yang langsung saja meninggalkan tempat ini sebagian lagi ada yang singgah sebentar disini dan berpamitan kepada lelaki di depan gue, dan gue hanya menatap jalanan yang terkena guyuran hujan di depan dengan pandangan menerawang.
"Mikirin Minkyu?" Tanya lelaki di depan gue ini, membuat gue hanya bisa menghela nafas pelan.
"Gue kira udah move on"
"EMANG UDAH" teriak gue dan hanya dibalas cibiran olehnya, dia membuka kacamata bulatnya kemudian memasukkannya ke dalam kotak kacamata miliknya
"Apa yang buat lu masih mikirin Minkyu? Apa masih ada yang belum selesai?"
"Enggak gue cuma kangen aja" jawab gue jujur, membuat dia yang di depan gue ini hanya diam.
"Harusnya lo pertahaninlah hubungan kalian kalau berakhirnya hubungan kalian itu cuma buat lo tersiksa"
"Dan mempertahankan hanya lebih membuat gue lebih menyedihkan, lagian dia kuliah diluar negri gue disini gimana caranya dipertahanin? Lagian opini kita juga udah banyak berbeda, seiring waktu kita dewasa dengan cara masing-masing" gue terdiam sebentar, lalu melanjutkan lagi,
"Besides, what you expect from highschool love story? A happy ending.....nikah? Belom sejauh itu"
"Lu kalo ngomong enteng banget berasa gue daritadi gak liat itu mata lu udah mau mewek lagi aja bawaannya" sahutnya membuat gue refleks memukul bahunya membiarkan dia meringis sendirian
"Kurang-kurangin maen sama Hangyul, tu anak preman, maen sama Hyeongjun aja" katanya lagi masih mengelus-elus bahunya
"Ohiya Hyeongjun katanya mau sbmptn lagi?" Tanya gue mengingat sepupu Puyo—teman gue itu memutuskan untuk gap year karena mengejar satu universitas ternama di ibukota, universitas dimana kak Hangyul kuliah.
"Iya. Hyeongjun mau sbmptn, Hangyul lagi pusing-pusingnya sama matematika teknik" jawabnya sambil menutup buku Perancangan Geometrik Jalan miliknya, tampaknya sudah selesai dengan tugas yang ia kerjakan.
"Minkyu juga baik-baik aja, meski hubungannya sama Hangyul masih sama jeleknya" lanjutnya membuat gue menghela nafas sambil mengarahkan muka ke sembarang tempat
Hujan telah berhenti, namun ingatan gue kembali menyebutkan namanya.
It's still highscool love story tho, what you expect Jim? Lagi lagi gue merapalkan mantera yang sama setiap gue merindukannya.
"Kak Yo" panggil gue ketika dia telah memasang tas punggung hitamnya, dia kemudian menatap gue sebagai tanda mempersilakan gue untuk bicara,
"What is your saddest love story that happened during high school?"
"Elo sendiri?" Dia malah nanya balik, gue mendengus pelan lalu menjawab,
"Ketika gue dikasih tau sama dia kalau gue membosankan tapi gue gabisa melawan karena emang itu bener" gue tersenyum pahit dan segera bertanya kembali pada dia sebelum pikiran gue berlari menyusuri lorong waktu lagi.
Hening cukup lama dengan gue dan dia yang hanya bertatap-tatapan.
Hujan telah berhenti, diapun berdiri lalu menjawab,
"Ketika gue jatuh cinta sama seseorang yang tidak terduga, tapi yang gue bisa lakukan hanya melihat dan memastikan dia bahagia dengan orang lain dari jauh—"
Hujan telah berhenti, diapun menatap gue dan melanjutkan kalimatnya dengan tatapan sendu,
"dan setelah sekian lama hanya bisa melihatnya dari jauh dan saat berkesempatan melihat wajahnya dari dekat...dia sedang terluka"
Hujan telah berhenti, diapun berjalan meninggalkan gue, menyisakan gue dan aroma petrikor yang entah mengapa membuat gue merasa tenang.
📝
Well, ini baru perkenalan karakter dan alurnya aja. Mungkin karakter Jima disini bakal lebih dewasa karena ya...dia udah mengerti kalau bersikap kekanak-kanakan tidak bisa diterima di semua tempat, lagipula dia udah 20 tahun hidup, sudah saatnya dia belajar tentang kehidupan yang sebenarnya.
Sebenarnya bingung juga mau bikin note seperti apa lagi karena mention gue isinya masih kumpulan keprotesan para netijen: (
Dibilangin itu hanya spesyel capter hft
Tapi gak papa, biar ini cerita bisa diselesaikan dengan baik dan benar. Doakan saya
🦋Okd bye🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Apricity ㅡKYH KMK
Romance[Bismillah Kak Minkyu's Sequel] Mari kita selesaikan-tentang apa yang terjadi dan bagaimana akhir cerita ini