Kamis, 1 Agustus 2019

96 10 0
                                    

WAJAH cantik itu tampak diam tak bersuara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

WAJAH cantik itu tampak diam tak bersuara. Kejadian sebulan yang lalu masih teringat jelas di otaknya. Bahkan tamparan tangan yang ia berikan di wajah Rio masih terasa. Tak lupa, patah hati masih setia menemani.

Hari ini, wali kelas mereka, Bu Nusa, akan membagi tempat duduk. Posisi mereka akan diatur menjadi sepasang-sepasang. Dengan formasi huruf 'U', mereka akan dibentuk menjadi empat orang dalam satu kelompok. Dua meja di depan, dua meja di belakang.

Bu Nusa memerintahkan para siswa laki-laki untuk mengatur bangku sedimikian rupa sesuai yang sudah direncanakan. Entah firasat atau bagaimana, ia merasa Aldito terus memperhatikannya. Merasa ketahuan, Aldito langsung tersenyum manis.

Dahi Naina mengerut dalam melihat tingkah aneh Aldito. Memerhatikan Aldito, Naina tidak sadar bahwa Dean berdiri di belakangnya.

"Na, ikut gue yuk!" ujar Dean tiba-tiba hingga mengejutkan Naina.

"Kapan? Kemana? Jangan-jangan lo lagi pdktin gue ya?" balas Naina. Dituduh seperti itu, Dean hanya tersenyum.

"Hari ini, kemana aja. Yang penting kita sama-sama bisa ngelupain masalah sebulan yang lalu." Selanjutnya, Dean kembali tersenyum. Begitu pun dengan Naina.

Pembagian tempat duduk pun dimulai. Naina mendapat bangku bersama Wulan. Dan betapa beruntungnya ia, dibelakangnya ada Dean sang kalkulator berjalan. Tak lupa, Aldito yang belakangan ini menggantikan posisi Rio sebagai sahabat Dean.

Aman, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

°°°

Seperti yang sudah direncanakan, Naina kini berada di mobil Dean. Naina melirik Dean yang tampak diam dan fokus ke arah jalanan. Jalan yang sore itu masih dalam keadaan basah sehabis hujan, tampak lebih menarik dibanding kesunyian di dalam mobil.

"Yan, gue nyalain musik ya," ujar Naina. Dean melirik sekilas ke arah Naina lalu kembali fokus menyetir. Dean berhenti karena lampu merah lalu kembali menatap ke arah Naina.

"Apasih yang gak boleh buat lo?" tanya Dean. Setelahnya mereka tertawa dan bernyanyi bersama. Hingga tanpa terasa, mereka telah tiba di sebuah pantai di kota tersebut.

"Sebelum kita keluar, gue mau izin ke orang tua lo buat ngebawa lo sampe jam sembilan malam. Terus jangan lupa bawa jaket. Soalnya pasti bakal dingin." ujar Dean perhatian.

Setelahnya Naina menyerahkan ponselnya yang telah terhubung ke nomor mamanya. "Oke, Tante. Dean pasti jaga Naina dengan sepenuh kotak makan berisi nasi goreng hehe. Makasih ya, Tante!" ujar Dean lalu membawa Naina yang masih tertawa dengan ketidakjelasan Dean.

Dean membawanya menuju salah satu penjual jagung bakar. Ternyata seorang Dean bisa lapar juga. Naina jadi terkikik sendiri. Setelahnya Dean memesan dua jagung bakar untuk mereka berdua.

Belum sempat melahap habis suapan pertamanya, Naina sudah ditarik oleh Dean menuju hamparan pasir. Lalu mereka berdua duduk di kursi yang telah disediakan di sana.

Memakan jagung itu berdua, lalu tertawa. Benar kata Dean, tempat ini bisa membuat Naina lupa sejenak soal kisah sebulan yang lalu. "Percaya gak? Matahari yang tenggelam di sana bisa dijadiin soal olimpiade Matematika?"

Pertanyaan konyol Dean sekali lagi mampu membuat Naina tertawa. Tanpa terasa, semuanya terlewat begitu saja. Soal matahari yang sudah tak menampakan diri, bintang yang perlahan menggantikan posisi matahari, hingga akhirnya bulan pun ikut menghiasi langit lukisan Tuhan di atas sana.

Naina masih setia dengan ponselnya. Nama Aldito merupakan kontak yang memberikannya pesan malam ini. Tak jarang pula, Naina membagikan kehangatannya bersama Dean di sosial media.

Dean melirik jam di tangan kirinya. Jam menunjukan pukul 19:45. Sudah waktunya, batin Dean. Dean bangkit dari duduknya membuat fokus Naina terpecah. Dean pun menarik tangan Naina menuju kerumunan orang yang sudah bersiap di pinggir pantai.

Tangan mereka masih tertaut satu sama lain. Merasakan kehangatan yang mereka bagi dalam setiap aliran nadi. Dean tersenyum, tak pelak Naina menyembunyikan gurat senangnya hingga bibirnya mengulum.

Tepat pukul 20:00 semua lentera terbang. Menghiasi hamparan hitam gelap di atas sana. Berterbangan seakan bersisian dengan rapihnya bintang. Mata Naina memancarkan gemerlap dalam mata hitam nan gelap. Tak lama, ukiran lengkung manis, tertera lebar menghiasi wajahnya.

Dean menarik kembali lengan Naina menuju sebuah tempat. Setelahnya, ia memberikan kertas dan bolpoin kepada Naina. "Tulis apa yang kamu harapkan," ujar Dean.

Dengan semangat Naina menuliskan harapannya. Sembari menunggu Naina, Dean menyiapkan lentera mereka. Satu lentera besar yang sengaja Dean pesan untuk pesta lentera malam ini.

"Udah?" tanya Dean. Naina mengangguk semangat, setelahnya ia berikan kepada Dean. Dean mengikat kertas itu di lentera, lalu mulai menyalakan api di dalamnya.

Ia meminta Naina pun memegang lentera itu dan tepat ketika bibir Dean mengucapkan kata "tiga", mereka menerbangkannya bersama-sama. Mata Naina kembali memancarkan cahayanya.

Dean pun menarik kedua tangan Naina. Meminta Naina berdiri menghadapnya. "Gue tau kita sama-sama patah akibat apa yang dilakukan Rio. Lo sebagai pacarnya, gue sebagai sahabatnya," ujar Dean sambil menatap Naina tepat di manik matanya.

"Tapi," lanjut Dean. "Kita adalah diri kita masing-masing. Yang dengan baiknya, Tuhan selalu memberikan peluang untuk bahagia pada diri kita masing-masing. Gue mau mulai saat ini lo senyum kembali, gue mau mulai saat ini kita bisa bahagia kembali.

"Gue siap buat jadi sahabat lo, kalau pun lo mau. Gue siap untuk menjadi perantara bagi bahagia lo. Kita udah kenal sama-sama dari kecil. Kita udah pernah bahagia bareng sedari dulu. Dan gue tahu persis bagaimana manisnya senyuman lo. Lo harus bahagia, Na. Bahkan tanpa adanya Rio."

Dean tersenyum untuk mengakhiri monolognya. Setelahnya semuanya hening. Mata Naina fokus pada pahatan sempurna di wajah Dean. "Gue akan bahagia, Yan."

Tanpa aba-aba, Naina berangsur pada dada bidang hangat milik Dean. Semuanya dimulai pada hari ini. Maka ingatkan Naina apabila ia lupa untuk bahagia.

Karena bahagia, adalah miliknya.

°°°

Dengan Nama Bahagia

Benci meracau diri. Menemakan hari ini dengan sebuah patah hati. Masih setia dengan yang terpatri, bahwa hati, tak pernah menghakimi.

Aku melihat semuanya nan gelap. Bintang menghiasiku dengan gemerlap. Lentera kemerahan, mengapung berekan-rekan. Semuanya terasa mudah, hati nan patah sepertinya kembali menemukan arah.

Luka berkedok cinta. Berdasar dusta, yang kau ikat pada seuntai kata. Namun maaf, dengan nama bahagia, aku ikrarkan tak ada lagi luka.

Cianjur, 1 Oktober 2019

A Jar of StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang