The Air

60 5 0
                                    

Aku memejamkan mata, mencoba menajamkan inderaku yang lain.
"Lima puluh waru, lima puluh batu, dua puluh cemara, sepuluh beringin, lalu terus sampai kau lihat cahaya yang lebih terang dari kunang-kunang..," aku menggumamkan lagu yang diajarkan ayah beberapa tahun lalu. Waktu itu, sama seperti saat ini, hujan berderai dan petir menyambar. Di luar, dan di dalam rumah.
Kuhitung sampai tiga, lalu kubuka mataku.
Petang ini langit berwarna biru tua, warna kesukaanku.
Jalanan di bawah kakiku basah sehabis hujan, cuaca yang aku benci.
Aku menghirup udara dingin dengan rakus. Udaranya lembab, tapi tidak tercium bau jamur. Aku senang.
Angin berhembus pelan membelai ujung-ujung jemariku. Rasanya geli.

Aku ingin berlama-lama menikmati sensasi menggelitik yang dibuat udara dingin petang ini. Tapi tidak, tidak boleh. Ayah akan mengamuk jika aku kembali beberapa menit lebih lama dari perkiraannya.
"Harus segera kembali," pikirku. Aku menghitung langkah di jalan setapak sempit yang kulalui. Pada langkah ke lima puluh aku berhenti. Di sebelah kanan ada pohon waru besar yang tampak sudah tua. Aku membelokkan langkah lalu menghitung lagi dari awal.
Aku terus menghitung langkah sambil menunduk, memperhatikan jemari kakiku yang kotor terkena tanah berlumpur, dan ketika sampai hitungan tertentu aku berhenti lalu mulai berjalan lagi. Hal itu terus kulakukan sampai jalan setapak sempit berubah menjadi jalanan beraspal. Ujung celanaku sudah basah kuyup dan terasa berat karena terkena cipratan tanah basah. Terbayang omelan yang akan aku terima nanti.
"Ini sama sekali bukan masalah besar," aku membatin. Aku menurunkan tudung jaketku dan menaikkan masker sampai ke pangkal hidung, kemudian mempercepat langkah kakiku.

The Rukmanas (Keluarga Rukmana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang