The Room

36 4 2
                                    

Aku menatap langit-langit rendah kamar kami.
Kamar? Lebih tepat kalau disebut bunker, ruang bawah tanah yang biasanya ada di rumah-rumah tua sisa zaman penjajahan, untuk berlindung dari ledakan bom atau menyembunyikan sanak saudara mereka yang dicap pengkhianat.
Bau lembab seakan ada sekoloni lumut dan jamur yang menyebar di bawah tempat tidurku menyeruak setiap aku berusaha memejamkan mata. Seharusnya aku sudah terbiasa setelah delapan tahun aku tinggal di bawah sini.
Ibu membenamkan wajah di bantal, di ujung tempat tidurnya. Dari kami bertiga, tempat tidur ibulah yang paling bagus. Dengan ranjang besi tempa dan tiang di setiap sudutnya, menopang kanopi kain tipis berwarna putih yang kini sudah berwarna kecoklatan dan terkoyak-koyak -- benda pertama yang selalu dia raih ketika sedang histeris.
Di sebelahnya ada tempat tidur Roni. Tidak seperti ranjang ibu yang besar dan penuh ornamen, ranjangnya sederhana, terbuat dari kayu yang selalu menimbulkan suara berdecit setiap kali dia gelisah tidak bisa tidur. Tapi setidaknya dia memiliki akses paling dekat dengan udara segar yang sedikit demi sedikit masuk melalui celah kecil di tembok atas tempat tidurnya. Satu-satunya alasan kami masih hidup tanpa kekurangan oksigen.
Udara yang kuhirup selalu sudah melewati hidung dan paru-paru Roni, bercampur dengan air mata ibu yang menguap, dan akhirnya bersatu dengan serbuk debu dan jamur. Karena ranjangku ada di ujung, agak masuk ke cekungan yang cukup untuk satu tempat tidur. Gelap dan lembab.
Tapi aku sama sekali tidak merasa iri ada mereka. Tidak ketika melihat bagaimana ayah gemar menghantam ibu di setiap jengkal tubuhnya, dan memukul Roni tiap kali dia tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Rukmanas (Keluarga Rukmana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang