Aku terengah-engah ketika sampai di halaman rumah tua berpintu coklat dengan lampu kuning yang membuat rumah ini terlihat semakin tua.
Tok tok tok..
Aku mengetuk pintu tiga kali dengan irama cepat namun redam.
Satu.. Dua.. Tiga..
Tiga ketukan lagi di pintu. Cepat dan redam.
Masih sunyi, tidak ada tanda-tanda apapun dari balik pintu. Aku menghitung sampai tiga kemudian mengetuk lagi.
Setelah ketukan yang ketiga pintu terbuka pelan. Ujung rambut ayah yang sudah mulai abu-abu yang pertama kali terlihat. Kemudian matanya mengintip dari balik pintu.
Pintu terbuka separuh dan aku masuk.
Di dalam rumah terasa hangat, masih dengan lampu kuning yang membuat ngantuk, ayah berdiri sambil menutup pintu perlahan.
Wajahnya tegang dan matanya merah. Pemandangan biasa.
Roni, adikku, berdiri dengan postur terlalu tegak di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah.
Dia berusaha keras menyembunyikan kemarahan dari wajahnya. Pemandangan biasa.
Ibu berdiri di dekat ayah dengan histeria yang sangat tampak di wajah. Pemandangan biasa.
Aku menatap mata sembab yang tersembunyi di balik rambut berantakan ibu.
Ibu belum mencuci rambut lagi. Masalah besar.
Aku menyodorkan plastik putih hasil dari misiku tadi, kepada ayah.
"Kerja bagus," kata ayah puas.
Aku hampir-hampir bisa melihat seulas senyum di bibirnya yang masam.
Ayah berbalik kepada ibu, menyorongkan kantong plastik itu ke dadanya, "Pakai ini. Dan cuci rambutmu. Sekarang!"
Ibu gelagapan seolah sedang menerima sebuah bola panas. Sambil meracau ketakutan dia melewatiku, luka-luka di lengannya sudah mulai membiru.
"Cuci celananya sekalian!" Bentak ayah sambil menunjuk celanaku yang terkena lumpur.
Aku buru-buru masuk ke dalam, melewati ruang tengah menuju ke kamar kami sambil menggandeng Roni.
Tangan Roni mengepal tetapi tidak menolakku. Kami berdua menuju dapur, lampu yang ada di dapur berwarna putih sehingga di dalamnya terasa lebih hidup. Aku menutup pintu dapur. Kepalan tangan Roni semakin kencang sampai kulihat buku-buku jarinya memutih.
"Kamu duluan," kataku sambil melepaskan gandengan. Roni tetap menunduk, enggan membuka pintu yang terletak tepat di balik pintu dapur. Aku membantunya membuka engsel, "Masuklah".
Dia masuk dengan enggan, aku berjalan di belakangnya setelah menutup pintu. Kami menyusuri tangga curam tanpa penerangan sedikitpun. Roni agak keseleo di tangga terakhir, terdengar dari suara gedebuk ketika dia menyeimbangkan kakinya.
Aku menarik tali lampu yang ada di tengah ruangan. Ruangan ini jadi semakin dingin setiap setelah hujan. Aku menggosok-gosok tangan berusaha mengenyahkan rasa dingin yang mulai merayap di jari-jariku.
"Hati-hati, ada pecahan kaca," kataku menyadari pemandangan sekitar. Ibu memecahkan piring makannya lagi.
Kulihat Roni sudah berbaring tengkurap di tempat tidurnya, tidak menghiraukan perkataanku. Tentu dia sudah tau apa yang terjadi ketika aku sedang tidak ada di sini.
Aku menghela nafas. Baiklah, pertama ganti celana dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rukmanas (Keluarga Rukmana)
Mystery / ThrillerNamaku adalah Dina Rukmana. Atau.. setidaknya itulah yang dia katakan padaku.