Reno menggenggam troli keranjang dengan kuat. Rasa kesal dan emosi masih merasukinya. Dada berdegup kencang, bibir tak sanggup bergerak, dan mata tidak mampu menahan air yang ingin keluar. Dengan santainya kak Riko berkata, "Ya sudah kakak minta maaf gak bilang ke kamu dari awal," lalu menambahkan, "Ya sudah, kamu mau kakak belikan apa? roti, ciki, atau mie? terserah kamulah, tinggal masukan saja ke keranjang." Kata-katanya semakin memanasi Reno. Emosinya memuncak hingga ke ubun-ubun. Kak Riko gelisah melihat wajah adiknya yang memerah. Kali ini entah kenapa Reno mengambil saos sambal dari keranjang belanjanya dan melemparnya ke lantai hingga pecah, sehingga menarik perhatian dari para pengunjung di sana.
Reno kemudian berlari menuju mobilnya. Di dalam dia menangis sekeras-kerasnya, sampai mobil yang kedap suara pun bisa terdengar tangisannya di luar. Kak Riko tinggalkan keranjang belanjaannya, dan berlari menemui adiknya. "Cukup Reno!" teriaknya. "Kamu jangan berlebihan begitu. Apa-apaan kamu marah-marah di sini? gak boleh gitu!" tegasnya. "Kakak yang apa-apaan rahasiakan surat itu. Pasti sudah lama kakak sembunyikan? iya kan? ngaku!" balas Reno. "Iya! surat itu aku terima seminggu yang lalu. Kakak sengaja gak beritahu kamu karna nunggu waktu yang cocok." Reno tidak bisa berkata apa-apa lagi, "Tapi kak.. tapi kan.. tapi.. ahh.. sudahlah.."
Kak Riko kembali ke supermarket untuk melanjutkan belanjanya, sedangkan Reno tetap bertahan di dalam mobil karena malu kepada orang-orang yang telah memperhatikan sikapnya tadi. Air matanya tidak berhenti mengalir sesampainya di rumah. Surat milik kakaknya masih Reno simpan di dalam tasnya. Mama pun bingung dengan sikap anak-anaknya karena baru pulang sudah bertengkar. Ketika ditanya, Reno sempat ingin menceritakan mengenai surat itu, tapi kak Riko langsung menutup mulutnya, "Oh.. enggak apa-apa kok mah. Biasalah kadang kami berantem, hehe." kak Riko beralasan. "Apa-apaan kakak tutup mulutku. Kenapa masih rahasiakan sama mama. Ceritakan saja yang sebenarnya sekarang, ayo!" tegas Reno sesaat dirinya ditarik oleh kakaknya ke kamar.
"Jangan sekarang, ini sudah malam. Papa-mama kecapekan, kayanya mereka belum siap dengar ceritaku. Besok saja aku ceritakan" jelas kak Riko. Reno tidak menggubrisnya lagi. Karena persoalan itu, Reno tidak mau memedulikan kakaknya lagi. Setiap kali kak Riko berbicara, dia hanya terdiam sambil memiringkan setengah bibirnya ke atas. Saat tangan atau kaki kakaknya tidak sengaja menyenggol, Reno langsung menghindar, seakan jijik dengannya. Tetapi, sebelum tidur Reno merenungkan kembali atas perkara itu, sehingga akhirnya perasaan marah dan kecewa mereda.
Jadi, kak Riko mendapat surat dari perusahaannya jika dirinya akan dimutasi atau dipindahtugaskan ke kota lain. Sepertinya perkara tersebut tidak perlu terlalu dipersoalkan. Tapi bagi Reno, hal tersebut sangat memedihkan hatinya. Dirinya merasa tidak akan sanggup hidup tanpa seorang kakak yang selalu menghiburnya ketika dibully di sekolah dan sebagai penyemangatnya di saat sedih. Dia sangat kecewa karena kak Riko tidak segera memberitahunya. Ya, saat mendapatkan tantangan dan kesulitan, Reno terlalu mengandalkan kakaknya. Sehingga dirinya akan kelimpungan jika nantinya kakaknya pergi.
'I want you, i need you, i love you, di dalam benakku..' Alarm dari ponsel kak Riko berbunyi. Dia dengan adiknya segera bangun dan bersiap-siap untuk membersihkan rumah, karena pada hari minggu ibu Sri, pembantu rumah tangganya libur bekerja. Siang harinya setelah pekerjaan rumahnya selesai, kak Riko meminta kedua orang tuanya dan Reno untuk berkumpul. Berbeda dengan tanggapan Reno, orang tuanya tidak mempersoalkan dan mengizinkannya untuk pergi. Reno terheran-heran oleh mereka, "Loh, kok kalian ijnin kakak gitu saja?" Papa menjawab, "Lagi pula Riko kan sudah dewasa. Biarkan dia memutuskan sendiri pilihannya. Papa juga tidak khawatir kalau dia bekerja sendiri di sana. Siapa tahu dia bisa semakin matang dan dewasa." Reno melipat tangannya, tanda tidak setuju.
Reno semakin syok sewaktu diberitahu jika kakaknya akan berangkat dua minggu lagi. Mendengarnya membuat Reno mengurungkan diri ke kamar. Dirinya terus membayangkan jika hidup tanpa seorang kakak. Yang dirasakan pastilah hampa dan membosankan. Tidak akan pernah lagi merasakan serunya bermain wahana arkade bersama, keponya curhat bersama, semangatnya karaoke bersama, dan jengkelnya bertengkar bersama. Reno juga khawatir jika nantinya akan dibully di sekolah karena tidak ada lagi yang membelanya.
"Ayo Reno kita jalan-jalan ke mall? mumpung hari minggu ini." ajak kak Riko. Reno mengangguk lemas. Dia tidak banyak bicara, baik dalam perjalanan maupun di mall. Kak Riko berupaya meramaikan suasana, tapi Reno hanya sekedar menanggapinya. Apalagi, Reno kurang antusias sewaktu bermain di wahana arkade. Tangannya lesu saat melempar bola basket mini ke dalam jaring. Dia terus berpikir,
"Mungkin ini terakhir kalinya aku bermain di sini sama kakak."Bersambung....
"Jika engkau memberitahuku lebih awal, sepertinya aku tidak akan sesedih ini. Mungkin...."
-Jangan Lepas Genggamanku
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Lepas Genggamanku
Novela Juvenil"Aku kira hidupku akan baik-baik saja. Setelah lepas dari problem yang telah lama membelenggu jiwa, kali ini dihadapkan oleh problem yang menggelisahkan hati serta pikiran. Aku adalah anak muda labil yang segalanya selalu diarahkan orang tua. Tetapi...