Resah

3.6K 189 29
                                    

"Jennie mau menikah." perkataan singkat usai makan malam itu sukses membuat syok kedua orangtua Jennie,  terlihat dengan dahi yang menggerut serta tatapan yang memicing tajam, menggamati Jennie lekat-lekat terutama pada perut rata Jennie yang sedikit membuncit sehabis diisi makanan.

"Kamu hamil? Siapa yang berani menghemili kamu, apa dia nggak tahu kamu siapa, huh? Putri dari Praengga Khile. Cari mati dia!"

"Pa, Jennie nggak hamil kok beneran? Ma, Mama percayakan sama Jennie?" Clara selaku Ibu hanya bisa diam, antara percaya dan tidak? Apalagi mendengar perkataan tiba-tiba seperti itu, jelas patut dipertanyakan bukan?

"Terus kalau kamu nggak hamil, kenapa mau menikah? Ini bukan seperti Jennie yang Mama kenal, Mama tahu kamu. Nggak mungkinkan kamu bicara begitu tanpa sebab, lelucon kamu nggak lucu. Lain kali jangan bicara gitu lagi, bikin Mama serangan jantung tau. Papa juga nggak usah langsung kebawa emosi begitu, orang pacar aja nggak punya masa langsung nikah. Ada-ada aja kamu," hardik sang Mama yang tengah menandaskan jus jeruknya.

"Dasar kamu ya, anak bandel emang. Hampir aja bikin Papa naik darah."

"Pa, Jennie serius. Ini pacar Jennie yang tiga hari lagi rencananya mau bertandang kerumah buat ngelamar Jennie, sekalian minta restunya juga. Selama inikan Mama, Papa nggak tahu rupa pacar Jennie. Lagian, Jennie udah cukup lama kok pacarannya," ujarnya pelan diakhir kalimat dengan menatap kedua orang tuanya takut-takut.

"Jennie, sudah cukup leluconnya. mendingan kamu ngerjain tugas kuliah kamu atau apa gitu, daripada begini, nggak ada gunanya. Iya kan, Pa?"

"Apa yang dikatakan, Mama kamu benar sayang. Kalau kamu nggak mau ngerjain tugas kuliah mending bantu, Mama beres-beres gampangkan?"

"Ma, Pa jennie serius. Bahkan rencana dekatnya kita mau menikah." sekali lagi Preangga, atau yang kerap dipanggil Rangga. Sebagai Papa dia hanya diam saat melihat raut keseriusan di wajah putrinya, menyadari hal itu ia  menghela napas panjang.

"Oh, ya? Kalau begitu Papa tunggu kedatangannya dengan golok Papa, Papa ingin lihat seperti apa dia.  Jika tidak memenuhi kriteria mantu idaman, Jangan harap kamu bisa nikah sama dia. Kuliah aja yang benar, nggak usah mikir aneh-aneh. Ngerti!" tukasnya berlalu pergi, meninggalkan dua wanita beda generasi di sana. Parahnya Clara tak berkata sepatah katapun sikap yang membuat Jennie semakin pesimis, dia sendirian menghadapi kedua orangtuanya tak ada sanggahan yang menopang tubuh, sendiri dengan kedua kaki sebagai tumpuan. Keadaan hening di rumah Jennie berbanding balik dengan suasana rumah seorang Sebastian Erlangga, dengan emosi menggebu ia terus marah-marah entah apa penyebabnya yang jelas ia tampak kesal setengah mati.

"Pa? Bastian itu anak, Papa. Anak kandung, Papa. Dan Papa tega nggak ngasih tau kabar kepulangan, Papa ke Bastian. Kemarin Papa kemana coba? Bastian cari di apartemen Papa nggak ada, di telpon nggak diangkat, Papa nggak kagen sama Bastian? Dan sekarang Papa mau pergi ke Duabi? Gila emang."

"Nggak sopan kamu sama orangtua, lagian ngapain ngangenin kamu pekerjaan Papa yang terbengkalai aja masih banyak," ujarnya sembari terkekeh pelan membuat Elang mendengus keras.

"Kalau nggak kagen sama Bastian kenapa Papa di sini, mending ke apartemen Papa. Kan Papa lebih sayang sama Aparteman Papa atau Papa ngerjain pekerjaan Papa, Papakan workaholic."

"Ck! Kamu kenapa sensitif gitu? Kayak anak perempuan aja." mendengar perkataan sang Papa rasa tak terima itu bangkit menjalar, ingin protes tapi tak kesampaian saat sang Papa kembali berkata, "Lagian Papa mau ngasih tahu kabar penting ke kamu."

"Kabar penting apa? Papa mau nikah?"

"Yup! Tepat boy." Sontak jawaban singkat itu membuat Elang menyemburkan minumannya yang jelas mengotori kaus v neck putih serta celana pendeknya. Sialan! Mungkin kata itu yang ia tahan guna tak keluar dari mulut terdidiknya. Bisa berabe ntar jika kata itu sukses meluncur tak terkendalikan, yang ada atm yang dibekukan.

"Pa? Bastian cuma bercanda tadi."

"Tapi, Papa serius?"

"Sama siapa? Bianca? Calisa? Atau stefani?"

"Bukan mereka semua, lagian Papa nggak terlalu dekat sama mereka cuma teman biasa."elaknya sembari mencecap kopi late kesukaan sebelum  nantinya pergi ke bandara.

"Nggak deket kok pernah diajak pergi, Bastian tahu kebiasaan buruk, Papa sama wanita-wanita diluaran sana. Nggak mungkinkan Papa ngajak mereka pergi tanpa melakukan sesuatu," tuturnya sembari menyimbolkan tanda kutip dengan kedua tangan dan dua jari yang bergerak naik turun. "Pasti ada sesuatunya, Papakan pria normal. Makannya itu Nenek nyuruh, Papa nikah. Karena kebanykan jajan diluar nggak sehat."

"Eh, jangan fitnah, Papa ya? Papa nggak gitu, makannya Papa menyibukkan diri dengan bekerja biar otaknya teralihkan dari hal yang begituan, Papa mulai sadar anak Papa ini mulai gede, bisa-bisa kamu niru kelakuan, Papa lagi, hiii." terangnya bergidik ngeri membuat sebersit senyum terbit di wajah Elang.

"Okey, Bastian pegang omongan, Papa. Terus sekarang siapa calon istri Papa?"

"Setelah kepulangan, Papa dari Dubai. Papa akan lamar dia, nanti kamu juga akan tahu siapa calon istri,  Papa dan otomatis jadi Ibu kamu."

"Ibu tiri." ralatnya tanpa ketertarikan.

"Sama aja, setelah itu pernikahan diadakan tepat satu bulan setelah acara lamaran." tanpa beban Dipta berkata yang sontak membuat Elang melotot tajam dengan ekspresi tak percayanya.

"Yakin, Pa satu bulan lagi mau nikah? Nenek tahu?"

"Jangan dikasih tahu dulu, setelah Papa pergi baru kamu kasih tahu. Papa males ladenin Nenek kamu yang cerewet."

"Kan Mama, Papa juga gimana sih. Tapi Papa nggak lupakan sama perjanjian kita?"

"Nggak akan Papa masih inget kok, ya udah Papa pergi dulu. Sekertaris Papa udah nunggu, ingat kuliah yang benar. Papa mau nemuin Nenek kamu dulu." tukasnya melenggang meninggalkan ruang santai yang dulu kerap ia gunakan untuk menghabiskan waktu dengan putra kesayangan entah bermain Ps, atau bersantai ria sembari mengobrol tentang ini dan itu.

"Huh! Okey, Bastian tunggu kepulangan, Papa." teriaknya menggelegar dengan tubuh yang sedikit kebelakang mengikuti pergerakan kepala. Bahayakan jika tubuhnya tidak ikut berputar yang ada kepalanya akan patah.

"Tungguin kepulangan Papa, atau penasaran sama calon Mama."

"Nggak ngaain penasaran toh, cewek yang deket sama Papa juga kebanykan implan semua. Nggak ada bagus-bagusnya selera Papa mah payah."

"Hahahaha! Bilang aja nggak mau ngaku."

"Nggak!"

"Iya, nggak mau ngaku."

"Pa!" teriakkan jengkel ia berikkan saat aksi jahil sang Papa tak berhenti, terus-terusan menggoda. Kan gengsi jikalau bilang iya. Tunggu saja hingga hari itu datang, hari yang menuntaskan rasa penasaran dan juga hari sebagai peringatan. Kita lihat saja bagaimana seorang Bastian bertahan dengan kenyataan.

***

Yuhuuuu update lagi, yang ISDK 2 sabar ya dapat giliran juga kok.

Okey selamat membaca ya guys, jangan lupa komen dan vote kalian nggak boleh ketinggalan.

Kalau ada typo maafkan.

See you next part... 😊😊😊😊😊

My Husband My Enamy FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang