"Panas sekali di sini," gumam sibocah sambil menyusut peluh didahi.. "kalo berada di tempat kakek dan nenek pasti sejuk, Apalagi udara yang sedikit bergaram ...hemm... pasti nyaman sekali buat tidur siang. Kangen juga aku dengan gua walet."
Si bocah yang ternyata jalu samudra kembali berjalan dengan meraba-rabakan tongkat hitamnya. Sesaat kemudian, saat angin bertiup semilir, terdengar suara keresekan daun-daun di sebelah utara dan bersamaan itu pula dari jarak dua tiga tombak di belakangnya berjalan dua petani yang memegang sabit serta setumpuk rumput di pundak..
"Bocah, jangan menghalangi jalan," kata yang sebelah kiri sambil sedikit membentak.
"Oh, ... maaf paman, saya tidak tau" jawab jalu mundur kebelakang dua tindak lalu menoleh ke sumber suara dengan kepala sedikit di goyang-goyangkan.
"Tidak tau? Apa matamu bu ... " yang sebelah kanan gantian berkata, namun tidak jadi di lanjutkan setelah melihat sepasang mata putih sibocah. Sebab ia tau, bahwa orang bermata putih tanpa titik hitam ditengahnya pastilah orang buta.
"Iya paman, saya memang buta ko."
"Maaf, ... paman tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, bocah muda."
"Tidak apa-apa, paman." Sahut jalu samudra dengan senyum tulus. "Oh ya, paman ... apa jarak pohon dengan tempat saya berdiri masih jauh.,?"
Dua orang itu saling pandang.
"Kasihan benar anak ini." Pikir mereka berdua.
"Tidak jauh, nak. Berjalanlah ke kiri kira-kira limabelas langkah, kau akan menemukan pohon trembesi yang cukup rindang. Meski ini musim kemarau, pohon itu tetap berdaun cukup lebat,karena dibawahnya ada mata air." Kata paman yang kanan. "Apa perlu paman tunjukan.?"
"Oh ... tidak perlu.Terimakasih atas pemberitahuan paman berdua"
"Sama-sama bocah muda"
Dua orang itu mengawasi jalu dengan sorot mata kasihan.
"Kasihan benar tuh anak, sekecil itu sudah menderita, tidak bisa melihat indahnya dunia." Kata laki-laki sebelah kanan.
"Heh, gelandangan seperti itu buat apa di kasihani.?"
"***** benar kau! Apa matamu buta.?"
"Enak saja kau mengatai aku ***** dan buta.?" Tantang si laki-laki kiri.
"Tunjukan kalau aku memang benar-benar buta.!"
"Jika ia memang gelandang asli, coba pehatikan kulitnya ... terlalu bersih untuk ukuran bocah gembel sekalipun." Tuturnya menilai si bocah buta. " ... dan lagian, apa kau mencium bau tak sedap pada diri anak itu.? Tidak bukan.!?"
Laki-laki yang sebelah kiri mengangguk-nganggukan kepala setelah mengamat-ngamati si jalu, lalu ia menjawab. "Benar juga apa katamu.! Aku yakin dia bukan anak sembarangan."
"Sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan pulang. Perutku sudah keroncongan dari tadi."
"Baiklah." Jawab si laki-laki kiri, lalu ia berseru pada bocah buta yang kini sedang duduk bersandar pada pohon trembesi,.
"Bocah muda! Kami mau pulang ke desa, apa kau mau ikut dengan kami.?"
"Terima kasih, paman! Maa tidak bisa mengabulkan kebaikanmu." Kata si bocah dari kejauhan.
Lalu sambil berjalan beriringan, laki-laki yang kanan pin ikut berseru. "Baiklah kalo begitu! Jika kau ingin mampir, berjalan saja kearah kananmu sejauh duabelas tombak, maka kau akan sampai di didesaku. Cari saja suro keong, semua orang pasti kenal,!"
"Baik, paman suro! Mungkin saja aku akan bermalam disini, hawanya lebih sejuk." Sahut si bocah.
Dengan kepala sedikit dimiringkan kekanan dan kekiri, ia mendengar langkah kaki dua orang itu yang berjalan menjauh.
"Hemm, lebih baik aku tiduran saja di bawah pohon ini, anginnya sepoi-sepoi bikin ngantuk saja." Gumam si bocah sambil menyandarkan kepalanya dibatang pohon yang agak menonjol keluar. " ... di mata air ini pasti ada ikannya, kudengar suara kecipakan di sudut sana. Nanti sore bisa makan ikan bakar nih."
Pendengaran jalu memang lain dari pada yang lain, sebab suara kecipak ikan yang jaraknya sekitar enam tujuh tombak jauhnya bisa di tangkap dengan baik oleh sepasang telinganya, mungkin karena ia pernah hidup berdampingan dengan laut sehingga bisa membedakan suara kecipak air, jatuhnya daun di atas air, sentuhan angin yang saling bergesekan dengan air sehingga menimbulkan suara alam yang unik. Bahkan dengungan lebah yang ada di atas pohon trembesi pun bisa ia tangkap dengan jelas.
Sebentar saja ia sudah tidur terlelap mimpi.!
Bagi orang buta, siang dan malam tidak ada bedanya, semua serba gelap, hanya kepekaan indera perasa yang bisa membedakan pergantian siang dan malam. Seperti halnya yang di alami jalu samudra, saat sore menjelang terbangun dari tidurnya. Dengan sedikit menggeliat, ia melemaskan otot-otot tubuhnya.
"Emmm ... nyaman sekali tidur dibawah pohon ini," katanya dengan sedikit menguap. Hidungnya mengendus-ngendus perlahan. "Sudah sore rupanya, pantas perutku sudah keruyukan dari tadi"...-o0o-
KAMU SEDANG MEMBACA
Si pemanah gadis- jilid l tabir ilmu sakti rimba persilatan
AcciónMengisahkan seorang pendekar yang di anggap buta (karena memang sejak lahir 100% buta) bernama jalu samudra, yang karena sebuah musibah justru menjadi anugerah karena tanpa sengaja menemukan liang ular bawah tanah yang membuatnya mengalami suatu pe...