#2: Second

34 7 5
                                    


       "Waktu itu aku yakin,
    Duniaku akan berubah".

                                  -San-

Beberapa bulan kemudian...

San melepas kartu ujian yang menggantung seharian di lehernya. Ia dapat bernafas lega setelah menghadapi berbagai macam rentetan ujian akhir di SMP.

Hari itu hujan membasuh kota, seperti seember air yang tumpah. Membuat halte bus yang beratapkan seng, mengeluarkan bunyi berisik yang memekakkan telinga.

San celingukan, mencari ojek yang biasa mangkal di perempatan kota. Memang sejak beberapa bulan yang lalu ia tidak lagi mengendarai sepeda ke sekolah. Sekarang ia menjadi langganan ojek setiap jam pulang.

Gadis itu tak mendapati satu pun kendaraan yang berlalu lalang. Padahal ini masih belum terlalu petang, tidak mungkin para ojek itu pulang lebih dulu dengan alasan hujan.

Ia merapatkan jaketnya. Menimbang-nimbang untuk berteduh di bawah sebuah kedai kecil yang remang-remang, tidak jauh dari perempatan jalan.

"Bodo amat..."

dengan langkah seribu gadis itu menembus derasnya hujan.
ia sampai di kedai itu bersamaan dengan seorang cowok.

"Haah...untung bisa neduh"
San menyeka wajahnya yang basah kuyup.

"Iya" jawab cowok disampingnya. Ia memakai baju seragam SMP yang berbeda.

Gadis itu mengangkat bahu heran.

'Yang bicara sama situ siapa?'
San memasang ekspresi jenaka, 'Ge-er nih orang'
Ia tertawa dalam hati.

"Lo gak kedinginan? Jaket lo basah gitu, mau minjam jaket gue?" Tawarnya.

"Maaf, anda siapa ya?" San memalingkan wajah ke arah cowok itu.

"Gila, songong banget. Baru beberapa bulan lewat udah lupa diri aja ya" cowok berseragam SMP itu kini menatap gadis dihadapannya.

"Asem! Lo ya Rasi?" San menepuk pundak cowok itu cukup keras.

"Rasi...Rasi...., emang gue terasi? Nama gue Rais, goblok. Lo kalo ketemu auto mukul, sakit tau" Rais mengusap pundaknya tadi dengan ekspresi menderita.

Lebay lu. Ucap San dalam hati.

"Kok tumben bisa ketemu disini?"

"Entah, takdir". Jawab gadis itu datar.

Rais mengetuk-ngetukkan jarinya di tiang penyangga kedai. "Lo lanjut dimana?"

"Rahasia" masih dengan nada yang sama.

"Masa harus gue bantuin lagi, biar lo kasi tau?" Ia menaik turunkan alisnya.

"Gak perlu".

Suasana menjadi canggung.

Hujan yang turun pun bukannya reda malah semakin deras. Kedua manusia itu menghembuskan nafas lelah.

"Pulang bareng yuk? Hujan-hujanan. Biar romantis gitu..."

Sumpah ni orang nyari kesempatan dalam kesempitan.

"Sama siapa? Sama lo? Mending gue bermalam disini" San mundur sedikit agar sepatunya tak terkena percikan air hujan.

Rais kecewa.

"Acie.... nih abang pinjamin payung, tapi cuma sisa satu. Pakenya yang rukun ya"

Entah darimana, penjaga warung itu tiba2 nongol di belakang mereka. Sebenarnya sedari tadi dia menguping pembicaraan dua orang siswa ini.

"Bang Tan baik banget sih, tau aja deh"

Rais tanpa basa basi menerima payung 'modus' itu dengan tangan sumringah.
San serasa ingin menabok wajahnya.

"Gimana princess, mau pulang bareng gak? Gue janji bakal jagain lo kok. Ini udah mau maghrib. Udah gak ada ojek. Masa lo mau sendirian lewat jalan itu lagi, gak kapok?"

"Udah neng, ikut dia aja, abang kenal dia, anaknya gak macam2. Kasihan kan kamu kedinginan juga"

Gimana orang gak curiga coba? Mukanya aja ngeselin gitu. San mengumpat dalam hati.

Tapi ia juga sadar, kalau berlama-lama disini akan membuat keluarganya khawatir. Gak ada pilihan.

"Ya udah, tapi kalau ada apa-apa, lo gak bakal bisa liat matahari terbit"

Rais mengangguk senang, dengan senyumnya yang mengembang.

Cowok itu segera membuka payung dan berpamitan dengan penjaga warung seraya melangkah pergi.

"Cie...cie...., langgeng ya!!!"

teriak abang itu dari kejauhan. Mungkin tetangganya sejauh 5 blok bisa mendengar teriakannya itu.

"Wasem" umpat San.

Tepat saat keduanya meninggalkan kedai, ada seorang tukang ojek yang mampir.









Mereka kini berjalan beriringan dibawah sebuah payung reot berwarna pelangi.

"Aduh, Rais! Pegang payungnya yang bener dong" Gadis itu memasang hoodie karna rembesan hujan mengenai kepalanya.

"Iya, sori".

Rais menggeser payung itu dengan tetap memeganginya, sementara tubuhnya sendiri sama sekali tidak dinaungi apapun. Seluruh bagian payung ia berikan kepada San. Namun, gadis tidak peka itu sama sekali tidak menyadarinya.

Konsentrasi San buyar seketika saat mendengar cowok disampingnya itu bersin.

San terperanjat, Rais tepat berada di luar payung, cowok itu tersenyum.

"Gila!, lo mau sakit? Sini payungnya gue yang pegang"

San merebut payung itu dari tangan Rais. "Gue gak se egois itu"

Rais menatapnya dengan tatapan yang sulit ditafsirkan.

San mengambil sebuah handuk dari dalam tasnya, dan menaruhnya diatas kepala Rais. Pipi cowok itu memerah.

"Lo kenapa?" Tanya san

"Nggak" Rais menggeleng.

"Itu handuk dari loker gue, tenang aja, gue belum pernah pake. Cuman karna hari ini, gue mau kosongin loker, gue nemuin itu".

"Makasih". Rais tersenyum.

San merasa hangat saat menyaksikan senyumnya, tak peduli jika hari ini turun hujan, langit tertutupi awan kelabu, ia serasa punya matahari yang lain disampingnya.

Mereka berjalan cukup jauh, melewati padang rumput,  bukit rahasia San, jalanan dengan pohon beringin hingga mereka sampai di gerbang kompleks.

"Sampai sini aja, kalau orang tua gue tau, gue diantar cowok, bisa panjang urusannya. Thanks"

gadis itu berlari secepat kilat, menghilang ditengah derasnya hujan. Meninggalkan cowok itu sendirian.

Dia menarik, ungkap Rais dalam hati.

ia terus menyaksikan pundak San yang menjauh, sembari menyentuh handuk dari San.

Aseek, punya alasan buat ketemu lagi.

Cowok itu segera melangkah pulang.

Ini pertemuan kedua mereka, masih dengan wajah yang sama, tapi dengan rasa yang berbeda.










#thanks, jangan pelit like, vote and kalau bisa share. See you~♡











SunRiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang