Aku bangun dari lamunan ketika gerimis bertransformasi menjadi hujan lebat dengan kilat yang saling menyambar. Tadi aku memperhatikan jalanan yang sangat ramai dari lantai dua sebuah toko buku. Pejalan kaki yang sibuk dengan payung, angkot dan supirnya yang menyebalkan, hingga petugas kepolisian yang gusar mengurai kemacetan. Sudah keram mulut mereka meniup peluit, masih ada saja angkot yang berhenti sembarang, menjemput penumpang yang belum tentu naik.
Hari ini angkot sudah mulai berkurang. Transportasi umum yang kini banyak diminati adalah transportasi online. Bagaimana tidak, pelayanannya sangat berbeda dengan angkot konvensional. Meski dengan tarif yang lumayan mahal, tapi kenyamanan lah yang selalu diutamakan mereka yang tidak suka berdesak-desakan di angkot.
Aku balik badan, kembali memperhatikan rak buku didepan. Aku sedang melirik tumpukan buku dari seorang pengarang hebat yang melegenda. Buku-bukunya laris dimana-mana bahkan beberapa memiliki tambahan kolom best seller di cover depan. Ada beberapa judul yang telah ku baca karena sesuai genre bacaan. Setelah memperhatikan sinopsis di cover belakang, aku meneguhkan hati untuk mengantongi sebuah buku lama yang belum sempat aku baca. Karena buku serial karangannya yang ku tunggu belum terbit, masih harus menunggu beberapa bulan lagi.
Di setiap rak toko buku terlihat ramai dengan pengunjung. Bahkan karyawan hilir mudik dengan cepat melayani pengunjung yang bertanya. Di ujung ruangan, anak sekolahan memenuhi rak komik. Meski komik online sudah merajalela.
Setahuku hari ini adalah hari terima raport, yang juga merupakan hari terakhir sekolah. Berbeda dengan dulu yang masih menggunakan kertas, kini raport di tampilkan di e-learning masing-masing siswa dan bisa diakses langsung oleh orang tua melalui gadget. Bagi siswa yang memiliki nilai merah, bisa dikomunikasikan dengan guru yang bersangkutan untuk remedial dengan ujian langsung online.
Setelah membayar di kasir, aku memutar kepala kesana kemari untuk mencari akar. Setengah jam yang lalu aku meninggalkan fotografer amatir itu di rak buku fotografi. Rencananya hari ini kami akan memotret sunset dari tepi laut. Tak susah menemukan angle foto terbaik untuk sunset disini, kota ini terletak di teluk yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam.
Akar ku temukan di lantai 1 sedang duduk di tangga pintu masuk sambil merokok. Ia tidak terlalu suka membaca, bahkan menurutnya sangat membosankan. Dengan tampilan seperti preman terpelajar dan rambut gondrong, security toko buku tampak ragu-ragu menegur asap rokoknya yang mengganggu pengunjung di pintu masuk yang sedang menunggu hujan reda.
“kamu ngapain disini? Ngak beli buku?” tanyaku.
“Malas, mending beli rokok”, sambungnya sambil menarik asap terakhir.
Akar mematikan rokoknya langsung di jari lantas melempar ke tempat sampah. Tampaknya ia sedang menyerang batin security yang sedari tadi mencuri-curi pandang kepadanya.
Kita berdua pun duduk bersama pengunjung lain yang berdiri. Aku tertawa melihat kelakuannya yang bersandar di anak tangga, seperti di rumah sendiri.
“Ngak perih tanganmu?”
“Yah perih lah”, bisiknya, membuat tawaku kian menjadi.
Tak lama, hujan deras berubah menjadi rintik sedu. Satu persatu mulai kembali ke kendaraan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin ini jam pulang kantor, makanya macet bertambah parah.Petugas kepolisian masih gusar mengurai macet. Aku dan akar pun ikut berdiri beranjak menuju tempat parkir.
Waktu ingin menghidupkan motor, kulihat besi plat parkir di samping roboh. Kaca pos parkir bergetar hebat. Tanah mulai bergoyang ke atas ke bawah.
“Gempa!” akar berteriak cukup kuat. Lantas kami berlari ke luar meninggalkan motor.Di luar suasana lebih gaduh, seperti ada festival tahunan. Pengendara turun meninggalkan kendaraannya. Pekerja yang sedang dalam gedung berlarian turun. Beberapa orang ku lihat memar karena terjatuh. Juga ada yang memegang dada dan membungkuk, mencoba menarik napas dalam-dalam.
Dua menit kemudian gempa sudah berhenti. Layar besar yang berada dipertigaan tak jauh dari toko buku berubah tampilan dari iklan menjadi seorang reporter wanita berkameja hitam dengan dasi biru tua.
Orang-orang mendekat mengerumuni layar yang mulai mengeluarkan suara.
“Gempa terjadi dengan kekuatan 6.2 magnitudo. Titik gempa terletak di sebelah barat daya dengan jarak 20km dari bibir pantai dan kedalaman 2km serta tidak berpotensi tsunami. Tetap tenang, namun selalu waspada untuk gempa susulan, terimakasih”.
Ku lihat orang-orang ber "huh" pelan, tanda lega karena gempa tidak berpotensi tsunami. Aku dan akar balik badan, meninggalkan kerumunan yang masih menggosip. Pak polisi yang basah kuyup terlihat sudah menyerah, ia duduk bersandar di kursi pos sambil membuka seragam, masa bodo dengan kejadian barusan.
Sejenak, aku melihat ke kerumunan karyawan toko buku. Mereka berdiri melingkari seorang wanita. Yah, itu tampaknya kasir baik hati yang menawarkan barang-barang promo saat aku membayar buku. Senyum sumringahnya tadi berubah menjadi tangis ketakutan. Ia kemudian diajak masuk ke dalam oleh kawan-kawannya."Gimana kar, mau lanjut hunting?"
"Cari makan dulu, lapar nih"
"Gempanya lumayan juga"
“Iya, untung ngak tsu”, belum selesai kata itu akar ucapakan. Gempa susulan terjadi.Kali ini jauh lebih hebat dari sebelumnya. Orang-orang pun kembali ke jalan. Berkumpul dengan air muka yang mungkin tak pernah mereka perlihatkan sebelumnya. Listrik padam, diujung jalan bangunan tua yang dijadikan rumah sakit dan beberapa bangunan roboh. Gedung tinggi lain kacanya mulai pecah.
Tangisan terdengar dimana-mana. Pak polisi yang sebelumnya masa bodo, keluae dari posnya dan bergabung di kerumunan. Ia berusaha membantu orang-orang yang terjatuh dan apapun yang bisa ia lakukan.
Aku dan akar langsung panik. Bagaimana tidak, sirine yang kami kenal dari pelatihan waspada bencana berbunyi sangat lantang. Sirine tanda tsunami 15 menit lagi akan segera menyapu kota.Tak perlu menghitung tiga, kami berlari mengambil motor, menghidupkannya kemudian menabrak palang parkir. Pikir kami, mungkin dengan motor akan lebih mudah, tapi ternyata nanti akan merepotkan. Keluar dari basement tiba-tiba akar rem mendadak, hampir saja aku terjungkal.
"Kenapa kar?"
"Nih cewek emang mau mati"
Akar hampir saja menabrak kasir yang baik hati tadi. Kawan-kawannya sudah berlarian meninggalkannya. Aku turun membujuknya untuk berlari, tapi ia masih menutup wajahnya dengan tangan sambil menangis.
“Angkat atau tinggalkan saja!”, akar berteriak mengagetkanku.
Entah mengapa aku refleks langsung menggendongnya naik ke motor. Akar kemudian menarik gas menyelip diantara kendaraan. Hanya lima belas menit untuk selamat, gumamku dalam hati.
Layar kembali menunjukkan reporter tadi yang kini hanya mengenakan kaos. Tak ada waktu untuk ganti pakaian. Setelah pengumuman, orang-orang yang masih menunggu berita lebih panik lagi. Sebelumnya mereka tak mengerti sirine yang berbunyi tadi.
“Lari ke tempat yang tinggi! Tinggalkan saja mobil atau kalian akan mati!” aku berusaha semampuku meneriaki mereka yang masih sibuk dengan klakson mobilnya.
Bukan hanya menyelip diantara kendaraan, kini akar harus lebih berhati-hati karena jalanan telah menjadi lautan manusia. Sedikit lagi akan menjadi lautan sebenarnya.
“Sudah tinggalkan saja motor disini!”, Ujarku.
Akar lantas berhenti. Kami bertiga turun dari motor dengan memaksa kasir baik hati ini untuk ikut turun.
“Ayo lari, kamu mau mati?”, teriak akar di depan wajah kasir baik hati itu.Ia masih tertunduk, entah apa yang ada dibenaknya.Tidak ada waktu lagi, aku memegang tangannya, menyeretnya paksa.
“masih ada yang menunggu kamu di rumah!”Tak ku sangka, kata-kataku ini sangat tertanam dalam hatinya di kemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dejavu
General FictionCerita fiksi remaja. Rinjai, Aini dan Akar diberi kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terjadi di masa lalu. Mereka bertualang di waktu yang telah mereka lalui sebelumnya. Hingga mereka sadar betapa waktu itu sangat berharga. Dejavu adalah ha...