Dilema

48 6 7
                                    

Gerimis membungkus kota pagi ini. Kumpulan awan hitam sedang memuntahkan semua isi yang ia kandung. Jalanan basah dan sopir angkot yang tak mau mengalah. Pemandangan pagi ini sangat tidak asing. Aku melihat kalender di handphone. Hari ini tanggal 20 Juni 2026, aku baru naik di kelas 3 SMA.

Aku duduk di dekat pintu masuk angkot, melihat keluar jendela. Dilema memutuskan apa yang terjadi semalam. Bukan juga semalam, itu terjadi setahun mendatang. Bagaimana bisa aku bermimpi kejadian setahun penuh dalam semalam? Ah ini membuatku gila, sangat tak masuk akal.

“Hei Rinjai!”, Salah satu teman sekolah menyapaku saat ia menunduk masuk ke angkot. Namanya Frans.

Aku menganguk, membalas senyumnya.

Tapi sebentar, setahun lalu dari kejadian itu atau hari ini, ah terserah saja. Pokoknya waktu turun di depan sekolah, dompet temanku ini hilang. Ia kemudian menuduh bapak yang duduk di sampingnya, yang sudah lebih dulu turun. Menurut yang ku ingat, ia duduk di samping seorang bapak berambut gondrong.

“Hey Rinjai!”, Ia memukul pahaku, membuatku kaget.

“Ya, kenapa ?”

“Masih pagi ko melamun saja. Ko sudah tau kah pembagian kelas?”, aksen kota asalnya tak pernah hilang.

“Belum pasti, tapi menurut informasi yang didapat Zahra kita sekelas lagi. Hanya ada tambahan dua orang dari kelas yang lain untuk menyesuaikan”, jawabku. Ah bukankah itu juga yang pernah ia tanyakan.

“Baguslah, aku sudah tak repot buat PR kalau masih sekelas dengan Zarah. Hahaha”, sambungnya.

Angkot berhenti tepat di depan gang kecil. Ada yang ingin naik. Seorang bapak berambut gondrong sedang menunduk mencari kursi kosong. Matanya memandang tajam. Di kursi belakang hanya ada Frans yang masih bercerita tentang liburannya.

“Disini saja om, nanti kan om turun lebih dulu”, aku menawarkan sambil mengangkat tas berpindah disamping Frans.

Bapak berambut gondrong menatapku heran. Lantas duduk dengan asap rokoknya yang mengganggu.

“Bagaimana ko bisa tahu kalau om itu akan turun duluan?”, tanya Frans berbisik.

Astagah, Frans benar juga. Pantas saja ia menatapku heran.

“Kan sekolah kita tujuan terakhir angkot ini. Ada kemungkinan ia akan turun lebih dulu”, kataku menjawab Frans yang kebingungan menggaruk rambut keritingnya.

Aku selalu memperhatikan gerak-gerik bapak berjaket hitam didepan kami. Sepertinya ia sedang menelpon seseorang dari smartwatchnya, ku dengar sekilas istrinya mengomel karena tidak sarapan dulu.

Tak lama kemudian ia turun sambil memegang ikat pinggang sebelah kiri. Wah aku terkejut dengan apa yang ku lihat, ada pistol dengan peluru lengkap terbungkus. Aku merasa telah berhasil menyelamatkan dompet Frans.

Aku dan Frans bergegas turun ketika angkot tiba di depan sekolah. Bel apel telah berbunyi, lima menit lagi pagar sekolah akan ditutup. Hukuman memungut sampah di depan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan pagi ini.

“Tunggu Jai, dompetku hilang”, ujar Frans panik.

“Coba cek lagi”, kataku menyuruhnya agar cepat.

“Tadi aku menaruhnya di dalam tas”, ia hampir saja menumpahkan semua isi tasnya.

Aku naik lagi ke dalam angkot. Mencari di tempat tadi kami duduk. Benar saja, dompetnya jatuh di lantai angkot. Sepertinya dompet Frans tidak hilang, ia menjatukannya waktu turun tadi.

“Nih, jatuh di lantai”, aku mengembalikkan dompet Frans.

“Ohh, jatuh yah”, Frans nyengir, memperlihatkan gusinya yang merah.

Setelah apel perdana, seluruh siswa mengadakan bersih-bersih di kelas masing-masing. Wali kelas yang baru tampak antusias bercengkrama dengan murid-muridnya. Mam Julia adalah wali kelas kami yang baru. Ia adalah guru yang paling tua disini, dua tahun lagi mau pensiun. Tapi perangainya tampak jauh lebih muda dari usianya saat ini. Ia cekatan menyuruh kami membersihkan kelas, katanya harus jadi kelas paling bersih di sekolah.

“Kamu kemana saja pas liburan?”, Keke bertanya saat aku sedang membersihkan sarang laba-laba di sudut ruang kelas.

“Di rumah saja”, aku menjawab malas.

“Apaan, story sosmedmu di gunung terus”, ia ngegas.

“Tuh tau, kenapa nanya?”, jawabku ketus.

Keke cemberut sambil meneruskan kerjaannya menyapu. Kalau mimpiku benar, dia adalah perempuan yang menolak cintaku. Sial, di pikiranku sangat jelas kejadian ini.

Keke akan mengambil eskul yang sama denganku, memberikan harapan dan perhatian setiap hari, kemudian menolakku saat aku menyatakan cinta. Katanya ia mendekatiku karena menyukai Marvel, teman dekatku di kelas sebelah.  Informasi ia menolak cintaku kemudian menyebar ke seluruh penjuru sekolah, menjadi bahan olok-olok warga sekolah sampai aku lulus.

Setelah selesai membersihkan ruangan kami melakukan pemilihan pengurus kelas. Aku pun berpura-pura pergi ke toilet karena tampaknya mereka akan menjadikanku ketua kelas lagi. Sangat susah menjadi ketua kelas, waktu santaiku hampir tak ada. Sibuk membalas chat dari wali kelas, melapor seluruh kejadian. Termasuk menjadi penggerak masa untuk menjenguk teman yang sakit. Jika ada kegiatan sekolah, akulah yang bertanggung jawab untuk absen.

Setengah jam aku habiskan di kelas Olahraga. Di kelas ini hampir tak ada kompetisi otak dan perang pengetahuan seperti di kelasku. Seandainya aku punya bakat olahraga apapun itu, aku sudah pindah kesini. Tapi sayang, bakat olahragaku hanya naik gunung.

Waktu aku kembali di kelas, semua sontak bertepuk tangan. Sial, aku tetap saja mereka pilih sebagai ketua kelas. Frans bilang ke wali kelas bahwa aku menitip pesan kepada teman-teman semua. Katanya aku sangat ingin jadi ketua kelas lagi, tapi malu kalau mengatakannya langsung.

Rasanya ingin ku pukul wajahnya yang sedang tertawa terbahak-bahak. Tunggu saja pasti ku balas kau, gumamku dalam hati.

“hai ketua kelas, selamat yah ko pimpin kami dua periode”, Frans nyengir disampingku saat pulang sekolah. Aku tak menghiraukan terus berjalan ke arah gerbang bersama Marvel.

“Begitu saja ko marah”, sambungnya.

“Kamu kira gampang jadi ketua kelas?” aku mengacak-acak rambutnya yang keriting dan mendorong kepalanya. Tiba-tiba,

“Boom! hampir saja”. Sebuah pot bunga jatuh dari lantai dua hampir mengenai kepala Frans.

Sebelum ia mengomel aku langsung menutup mulutnya. Seingatku, kepala sekolah memanggil orang tuanya karena mendengar ia memaki adik kelas yang tak sengaja menjatuhkan pot bunga tadi. Ah kenapa mimpiku tampak nyata sekali?

“Kenapa ko tutup mulut saya?”, Frans protes.

Aku hanya menunjuk ke arah kepala sekolah yang sedang mengobrol dengan beberapa guru, membuat senyuman khasnya mengembang, batal protes.


***

Ibu menyambutku dengan masakan siangnya. Ibu tidak bekerja. Kata ayah ibu di rumah saja, anak-anak butuh seorang guru di rumah, nanti dia yang mencari nafkah. Gajinya masih cukup untuk menyekolahkan aku dan adikku, bahkan pergi sekeluarga untuk liburan ke luar kota enam bulan sekali.

“Ayo cepat ganti seragamnya dulu”, ibu protes karena aku langsung mencomot tempe goreng di meja makan.

Aku naik ke lantai dua, melempar tas sembarang, ganti pakaian dan berbaring. Aku tak sedang bernapsu makan. Banyak kejadian hari ini yang sama dengan mimpiku semalam. Sepanjang hari aku melamun, dilema pada semua kejadian hari ini.

Teringat pada Akar dan Aini, aku segera mengambil handphone mencari kontak akar. Tapi sia-sia, aku baru mengenalnya saat pelatihan waspada bencana bulan Desember nanti. Itu pun kalau benar-benar ada. Kami adalah utusan dari sekolah masing-masing. Kemudian kami bertemu lagi di kampus waktu ospek, kebetulan satu fakultas.

“Rinjai, ikannya sudah mau hidup lagi!”, Mama berteriak.

Mendengar teriakannya aku teringat sesuatu. Aku bergegas turun, langsung menyambar meja makan. Hampir saja Zaki-kucing peliharaan adikku-membabat makanan di atas meja yang lupa aku tutup. Seingatku, aku diomeli karena Zaki menumpahkan sebagian makanan di atas meja makan.

Ada satu hal lagi yang harus aku pastikan. Kalau saja itu terjadi, maka aku yakin kalau yang telah aku lalui semalam bukanlah mimpi.

"Ma, Papa lembur lagi hari ini?", Aku bertanya saat mama baru saja bergabung di meja makan.

"Iya barusan telepon. Emang papa sudah bilang ke kamu?", Mama mengernyitkan dahi menatapku.

"Salah satu mesin di kantor papa rusak?", Aku terus bertanya.

"Kok kamu tahu, rusaknya kan baru lima menit yang lalu", mama bingung menatapku.

"Gawat!"

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang