Kabar baik di situasi buruk

23 6 4
                                    

        Jika truck di lajur kanan tidak ngerem, mungkin saja aku sudah terseret kembali ke belakang. Sore ini lalu lintas cukup padat. Bodoh amat  dengan pengemudi lain yang berteriak memaki, juga polisi yang berusaha menghentikan laju motorku tadi. Motor yang ku pinjam pada Julian-teman samping rumah-kupacu dengan kecepatan tinggi menuju pabrik tempat ayah bekerja.

Aku meninggalkan mama yang masih kebingungan di rumah. Ia sempat mengomel karena aku langsung pergi meninggalkan meja makan. Ku bilang mau ke rumah teman, ada tugas yang tak bisa ditunda.

Di setengah perjalanan aku dibuat kaget oleh motornya. Awalnya kukira Julian bercanda soal Nos tambahan di motornya ini. Tapi waktu ku tekan tombol merah di bawah klakson yang ia bilang tadi, ada bunyi seperti desingan angin yang membuat tarikan motor menjadi lebih ringan dan kemudinya jadi susah dikontrol. Tak menyangka si introvert bisa memodifikasi motornya seperti ini.

Kepulan asap yang membumbung tinggi sudah terlihat jelas di langit dari kejauhan. Tak lama kemudian aku tiba di blokade polisi yang menjaga orang-orang agar tidak mendekat. Aku melihat ke arah pabrik, Api sudah melahap pabrik dari sisi kanan dan setahuku di sanalah ruang kerja papa.

Aku menerobos police line, berlari secepat mungkin menuju ke arah pabrik. Jika tidak salah, ada sekitar 7 mobil pemadam kebakaran yang sibuk menaklukkan si jago merah. Aku langsung menghampiri sekertaris papa yang ku lihat sedang berdiri terbatuk-batuk.

“Papa dimana ka Ros?”

“Papamu masih di dalam Jai, ia membantu mengevakuasi karyawan yang terjebak di sayap kiri gedung”, kak Ros menjawab dengan sisa tenaganya. Tampaknya ia sedang syok.

Saat aku ingin berlari lebih dekat ke arah pabrik, seorang polisi memegang lenganku. Ia terlihat ngos-ngosan karena mengejarku tadi.

“Kamu sudah gila nak?, Mau bunuh diri?”, ujarnya memarahiku.

“Komandan, papaku ada didalam!”, aku coba membantah.

“Sudah biar itu urusan petugas pemadam kebakaran. Mereka sudah masuk ke dalam. Disana terlalu berbahaya untukmu!”

Aku mengalah dan mundur beberapa langkah, menatap api yang mulai menjalar.

Beberapa petugas kemudian keluar mengangkat para korban yang terpanggang dan merangkul beberapa lagi yang luka-luka. Suasana haru tak terbendung lagi. Tangisan keluarga korban yang berdatangan pecah saat membuka kantong jenazah atau masuk ke tenda pengobatan darurat. Sedangkan aku masih gugup menatap pintu darurat pabrik. Ada yang sedang aku tunggu untuk segera muncul disana.

Helikopter pemadam juga datang menerjang kepulan asap hitam, menurunkan air yang cukup banyak. Tapi angin kencang yang bertiup memberikan kekuatan pada si jago merah yang mengamuk.

Setelah satu jam berlalu, akhirnya usaha petugas yang mendapatkan sokongan dari tentara militer mulai memperlihatkan hasil.

“Pak, apakah saya boleh kesana sekarang?”, aku membujuk pak polisi di sampingku.

Kini ia memborgol satu tanganku dengan tangannya. Karena aku sempat memaksakan diri untuk lari menuju ke gudang tadi.

“Tidak nak, banyak sisa-sisa puing yang masih terbakar”, ia menjawab tegas.

“Borgolnya dibuka dulu komandan, aku mau pipis. Memangnya komandan mau menemaniku ke kamar mandi?”

“hahaha, kamu tidak bisa menipuku anak kecil!”
Jika situasinya lebih baik, rasanya aku ingin menatap sinis pak polisi itu dan bilang “jangan panggil aku anak kecil paman”, seperti serial kartun di tv. Kemudian memanggil sepeda berteknologi tinggi dan terbang ke atas gudang.

Menghayal tentang sepeda, aku teringat motor Julian yang terparkir sembarang di luar blokade. Semoga saja tidak hilang, Julian bisa murka tujuh turunan jika motor kesayangannya sampai hilang. Tadi saja aku harus membujuknya untuk meminjam motor. Tapi tunggu, kantong celanaku tiba-tiba bergetar. Aku kemudian mengambil benda bergetar itu yang ternyata kunci motor. Astagah, penyangga kunci nya yang berbentuk seperti penutup kotak cincin ini punya layar. Layar itu menunjukkan keadaan 3 dimensi sekitar motor. Julian memasang kamera cctv di motornya. Dengan kejeniusannya juga, nanti ia akan membantu kami memecahkan teka teki ini.

Layar di kunci motor berkedip merah, tampak ada seorang pemuda seusiaku yang sedang mencoba melepaskan kaca spion. Bagaimana bisa aku kesana dengan keadaan seperti ini?

“Aku bersumpah tidak akan lari seperti tadi lagi komandan, lepaskan saja borgol ini. Tanganku sakit!”, Ujarku memohon kepada pak polisi.

Melihat aku yang mengeluh kesakitan, ia pun membuka borgolnya.

“Sekali lagi kamu berani menerobos kesana, bapak akan bawa ke kantor”, ia mengancam dengan jari telunjuknya.

Setelah borgol dibuka, aku berjalan cepat ke area luar blokade tempat motor Julian terparkir. Tiba disana, aku menangkap basah orang yang masih berusaha membuka kaca spion.

“Hey ngapain kamu?”, aku bertanya sedikit membesarkan mata.

“Eh kak, cuma mau ngelap saja. Kacanya kotor sekali”, katanya mati gaya.

Melihat aku yang berdecak pinggang menatapnya marah, ia malah mendekat. Air mukanya berubah. Ia memutar-mutar lengan kanannya dan “bukkk”, tinju kanannya menghantam kedua tanganku yang sempat menangkis. Ia kemudian terduduk menahan sakit, darah mengalir dari punggung jarinya.

Aku melihat tanganku yang menangkis pukulannya, ternyata jarinya mengenai kunci yang aku pegang. Ia pun bangun dan berlari secepat mungkin. Hanya ada satu dua orang yang memperhatikan, yang lainnya sibuk bersorak karena api sudah berhasil dipadamkan petugas.

Aku segera memarkir motor di tempat yang cukup aman kemudian berlari kembali ke dalam blokade, berdesakan dengan keluarga korban yang semakin banyak berdatangan. Pabrik ini sangat besar, kata papa karyawan yang bekerja sekitar 500 orang.

Tak jauh dari pintu darurat aku melihat papa dirangkul oleh dua petugas. Ingin sekali kaki ini melangkah kesana, tapi aku harus bersabar. Hal pertama yang ingin aku pastikan sudah lewat karena ditahan pak polisi, kali ini tidak boleh terlewatkan.

Seingatku di mimpi, aku menolong seseorang yang hampir saja terkena reruntuhan waktu berlari menuju papa. Aku ingin melihat apa yang terjadi pada orang itu jika aku tidak ada saat reruntuhan itu menimpanya. Meski tidak parah, kejadian itu akan membuat kaki kananku terluka.

Waktunya tiba, ku lihat wanita bertopi merah yang ku selamatkan berjalan sambil menangis. Ia mendekat ke arah pintu darurat, tampaknya ia sedang mencari seseorang. Tunggu dulu, bukannya di mimpiku ia berlari bersama seseorang, ia juga tidak menangis. Hanya saja waktu itu ia memang sedang mencari seseorang.

Aku terus memperhatikan wanita itu. Ia sudah sangat dekat dengan dinding yang juga akan segera runtuh. Tapi tiba-tiba ia berhenti, ia menatap ke arah dinding. Sejenak ku perhatikan raut wajahnya, bukankah wanita itu,

“Aini!”, aku refleks berteriak.

Teriakanku tertutupi suara reruntuhan dinding yang roboh. Aku sangat yakin itu adalah Aini. Aku langsung berlari menuju ke arahnya, tapi “bukk” kakiku menabrak besi plat parkiran. Aku terduduk memegang kaki, sial sakit sekali. Kaki kananku langsung lebam.

Aku berusaha berdiri kembali. Kemana Aini? Aku melihat ke arah reruntuhan tadi. Tak ada siapapun dibawah reruntuhan. Aku melihat sekeliling sambil beberapa kali meneriaki nama Aini. Nihil, orang-orang malah menatapku heran.

“Jai, ngapain teriak-teriak?”, Julian menepuk pundak, mengagetkanku.

“Ngapain kamu disini?, Aku balik bertanya.”

“Aku mengantar mamamu. Sekitar lima belas menit setelah kamu pergi dari rumahku, mamamu datang menyusul mencarimu. Dia tanya kamu kemana, aku bilang saja kamu pergi ke pabrik tempat papamu bekerja. Ia meminta bantuanku untuk mengantarnya kesini, katanya papamu baru saja menelpon dan bilang kalau pabrik terbakar.”

“Sekarang mama dimana?”

“Di tenda darurat bersama papamu. Tapi tunggu Jai, dari mana kamu bisa tahu pabrik ini terbakar?”

“Eh ini, eh aku melihatnya di tv”, kali ini aku yang mati gaya, menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Tak mungkin Rinjai!”, ia menarik bibir kirinya.

“Ibumu bilang pabrik baru saja terbakar beberapa menit yang lalu disaat kamu sudah pergi ke pabrik ini setengah jam sebelumnya. Itu pun kamu masih menghabiskan waktu 10 menit untuk membujuk agar aku meminjamkan motor. Dan jarak dari rumah kesini lumayan jauh. Bagaimana mungkin kamu sempat menonton tv?”, Ujar si introvert jenius itu.

“Kakiku lagi sakit malah kamu banyak argumen!”, aku mengalihkan perhatiannya.

Aku kemudian dibantu Julian ke tenda pengobatan darurat. Disana aku bertemu dengan mama dan papa. Melihat aku datang, sejenak mama melotot ke arahku. Tapi karena kaki kananku yang terluka, ia pun tak jadi marah.

“ Thanks untuk motornya. Nos dan cctvnya keren!”, kataku ketika memulangkan kunci motornya.

“kau harus menjawab pertanyaanku dulu Jai!”, ia malah mendekat dan berbisik.

“Aku bermimpi tentang masa depan semalam”, jawabku serius.

Mendengar itu ia tertawa, membuat mata cipitnya tertutup sempurna.

“Hari ini sudah ada dua orang idiot yang bilang begitu”, ia balik badan ingin permisi pulang kepada kedua orang tuaku. Penyakit introvertnya kambuh kalau banyak orang seperti ini.

“Siapa?”, aku menarik bajunya.

“Satu kamu, satunya lagi teman sekelasku”, jawabnya kesal.

“Namanya siapa?”

“Aku bilang pun paling kamu ngak bakal kenal!, Kita kan beda sekolah!”, si introvert mendengus.

“Sudah bilang saja!”, tanyaku penasaran.

“Akar!”

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang