Waktu

70 7 4
                                    

Matahari bulat sempurna sudah siap terbenam ke dalam horizon. Warna jingganya terpancar kemana-mana, membuat langit tampak begitu menawan. Jika suasananya tidak seperti ini, mungkin hunting kami akan menghasilkan foto yang bagus.

Aku segera membalikkan badan setelah beberapa saat menghadap ke belakang mengambil napas. Akar yang sudah beberapa langkah di depan juga berhenti sejenak. Sedangkan di bawah sana lautan manusia masih berusaha menyelamatkan diri. Ada yang saling bahu membahu, ada pula yang tidak memusingkan orang lain. Dan pak polisi tiba-tiba menjadi motivator meski tetap terus berlari dengan perutnya yang buncit. Rasanya ingin ku gendong semua orang yang ada dibelakang, tak tega melihat mereka yang sudah pasrah memeluk lutut atau mereka yang jatuh dan terinjak, ada pula yang tertimpa reruntuhan.

"Aku sudah tidak kuat", ujar kasir baik hati yang ngos-ngosan.

"sedikit lagi. Kalau kita berhenti disini, kita bakal diinjak-injak sama mereka", jariku menunjuk kerumunan.

Ahh tak perlu menunggu respon, segera ku tarik tangannya. Aku tak berbakat dalam hal membujuk seorang wanita.

Kami berlari menuju arah timur kota. Menurut Akar, ada dataran tinggi disana yang dijadikan titik evakuasi. Dari gayanya yang seperti preman dan sikap bodoh amat yang kuat, tak ku sangka sekarang ia memimpin penduduk kota untuk berlari. Berteriak sekencang-kencangnya, mengarahkan.

"Cukup disini", akar berteriak dengan sisa tenaga setelah beberapa menit kemudian.

Ia melihat tanda titik kumpul evakuasi di halaman depan sebuah kantor pemerintahan. Orang-orang juga mengikuti kami untuk berhenti. Di antara mereka ada yang langsung pingsan, mungkin karena dehidrasi dan ketakutan.

Orang-orang yang beruntung sudah berada disini saat gempa terjadi langsung membantu kami. Mereka membawa minuman seadanya dan minyak angin bagi yang pingsan.

Tak lama, tiba-tiba semua mata tertuju ke arah laut. Bukan karena sunsetnya yang cantik, tapi karena gulungan ombak pertama yang mulai menyapu kota. Gemuru ombaknya terdengar sangat menakutkan. Teriakan disertai tangisan histeris pecah-tak terbendung-seperti ombak susulan yang datang meratakan kota.

Bahkan akar yang jarang terlihat sedih, kini menitikkan air mata. Kesedihan menusuk seluruh hati yang masih bisa selamat. 20 menit berlalu, gulungan ombak kembali ke tempatnya semula bersama dengan terbenamnya matahari. Sungguh, hari yang tak akan terlupakan bagi tiap pasang mata yang melihat.

***

Pukul 8 malam, tenda darurat telah selesai dibangun oleh relawan dan pengungsi. Aku dan akar juga membantu apa saja yang bisa kami lakukan. Disini masih kekurangan makanan, padahal sudah berada di pusat kota. Tak terbayangkan pengungsi yang ada di tempat lain.

Bantuan dari berbagi kota terhambat. Longsor memutus akses darat serta bandara yang rusak parah menunda akses udara. Hanya ada helikopter militer yang hilir mudik menurunkan bantuan makanan serta pakaian seadanya.

Menurut informasi, petugas dan relawan telah berhasil menemukan sekitar 600an korban jiwa. Malam ini juga, nama-nama korban akan diumumkan di berbagai tenda pengungsian agar bisa dikenali keluarganya yang selamat.

Rumah-rumah dan bangunan lain banyak yang roboh. Kata seorang relawan tadi, bahkan ada kompleks perumahan yang terbenam ke dalam tanah. Ketika gempa, tanah berubah menjadi lumpur dan menelan apapun yang ada di atasnya.

Di depan sana beberapa jam yang lalu, kota yang sangat indah dengan sunset yang diidamkan seluruh negeri masih terlihat gagah. Kini berubah menjadi kota mati yang hanya diterangi cahaya bulan. Hanya ada petugas evakuasi bersama relawan lain yang bekerja keras mengangkat puing-puing bangunan, mencari korban jiwa atau berharap masih ada yang selamat.

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang