Kalau boleh jujur, Kim Namjoon benci buka mata pada pukul enam pagi dan sinar mentari yang mendobrak masuk menembus kelopak mata. Terlebih setelah diberi bombardir laporan dan sketsa kasar rancang bangunan yang harus selesai sebelum jarum jam berada tepat di angka nol titik nol nol semalam. Ia harus terjaga sampai tugas-tugas dari pekerjaannya yang super coretmenyebalkancoret banyak itu menyentuh titik limit, ditambah rasa lapar yang langsung menguap setelah ultimatum dari atasannya keluar begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Ia lebih memilih duduk di atas sofa beledunya yang empuk dan nyaman sambil membaca karya-karya klasik Charlotte Bronte atau Mark Twain di malam Sabtu, daripada mengerjakan jurnal arsitek dan goretan-goretan kasar yang juga harus dibuat dengan teliti.
Kaya, iya. Botak pun, iya. Duh.
Bukannya Kim Namjoon tidak mencintai pekerjaannya, tentu saja, bukan itu.
Perjalanan menjadi seorang arsitektur ternama di Korea Selatan, bahkan (kalau ia boleh menyombongkan diri) dengan nama dan prestasi yang kabarnya sudah terembus manis ke daratan Eropa, tidak semudah mengambil kotak tisu berwarna pastel feminine dan membayarnya di meja kasir. Kau harus melewati berbagai macam sertifikasi yang tidak main-main, segala macam tes yang mampu membuat jari terkilir dan kepalamu seolah ditimpuk bara api, serta wawancara yang terkadang lebih konyol daripada pertanyaan satu tambah satu saat masih sekolah dasar, sebelum benar-benar menjadi arsitek profesional yang terkenal seperti sekarang ini. Jadi Kim Namjoon tidak sudi menghancurkan pencapaiannya hanya untuk masalah remeh seperti kelelahan.
Walaupun sebenarnya, Kim Namjoon sangat membutuhkan rasa lelah sekali-kali untuk menenggelamkannya pada kenyamanan tiada tara sebuah kapuk empuk dan pelukan gadis di sisinya.
Ah, setidaknya, ada Han Susan di sisinya, benar?
"Aku tidak bisa tidur dengan tenang kalau kautatap seperti itu, Namjoon." Hidung gadis itu merengut sebal, gigi kelinci terlihat mengintip di balik bilabialnya yang separuh terkuak, ingin bicara namun terlalu lelah untuk mengeluarkan suara. Manis, pikir Namjoon. "Ini hari Sabtu. Tidur lagi, sana!"
Senyumnya terbit, seiring dengan gerakan tangan yang menggapai lingkar pinggang Han Susan yang selalu terasa pas di lingkaran tangannya dan satu kecupan singkat laiknya kupu-kupu di puncak kepala. "Aku hanya bisa tidur saat melingkarkan lenganku di pinggangmu, Dear."
"Oh, Dear, kita mulai lagi." Han Susan mengerjapkan kelopak mata, membiasakan bias dari balik kaca jendela yang menerobos indera pelihatnya, seraya menggenggam pinggang baju Namjoon yang tampak terlalu besar di telapak tangannya. Namjoon memberikannya ciuman-ciuman kecil sambil berucap selamat pagi, sayang, yang langsung dihadiahi oleh cubitan gemas di pinggang. "Ini masih pagi, Namjoon. Jangan membuatku kesal. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam," rengek Susan dari balik benaman wajah di dada Namjoon.
Kekeh gemas keluar dan kecupan-kecupan kembali meluncur. "Aku baru tidur lima jam, dan melihatmu membuatku tidak bisa tidur lagi, Sayang. Jadi, ayo bangun." Namjoon berbisik di antara telinga si gadis yang kemerahan.
Seiris kelam malam yang tadinya bersembunyi di balik kelopak indah Han Susan menyapa Kim Namjoon beberapa detik kemudian, setelah asik bergelut dengan kemelut kantuk yang membelenggu hingga akhirnya rasa kantuk lenyap dari limit kesadaran. Belum lagi debar jantung yang menghadang dada seperti debur ombak menyapu pantai, akibat suara di balik dada berlapis baju tidur sewarna gading yang berpacu mengalahkan pacuan kuda. Han Susan nyaris tak bisa bernapas dengan benar karena masih belum mampu menyesuaikan emosi serta suara debum jantungnya sendiri.
Ini memang gila, Kim Namjoon bisa merasakannya, bagaimana manisnya Han Susan dalam pelukannya. Manja sekaligus ingin ditebak maksud tindak-tanduknya. Bahkan mampu membuat Namjoon bertahan dalam posisi tidur paling tidak enak sedunia sekalipun, asal bersama Han Susan rasanya tidak masalah.
Kata orang jatuh cinta itu sederhana. Sama seperti membubuhkan garis-garis artistik pada kanvas putih tanpa bisa menebak apa yang akan dilukis oleh sang pelukis. Penikmatnya hanya bisa menikmati dan memaknai lukisan yang telah jadi, dipajang dalam sebuah pameran lukisan, bahkan mampu membayar mahal untuk dipajang di ruang tengah mereka.
Bangun pagi di hari Sabtu ternyata tidak seburuk itu.[]
YOU ARE READING
coileanta (namjoon)
FanfictionBagi Han Susan, Kim Namjoon adalah paket lengkapnya, dan begitupun sebaliknya.