Beno berjalan lesu, keluar dari ruang Resus. Wajahnya tampak lelah, mungkin tak selelah hatinya. Beban yang ia rasakan semakin berat ketika ia melihat wajah sedih dari keluarga pasien yang baru saja ia tangani. Wajah sendu penuh harap yang tengah menanti di luar.
Beno menginstruksikan Gunawan, salah satu perawat pendamping untuk memanggil keluarga pasien. Mereka duduk berhadapan. Beno menghela napas, berat. Hal ini yang paling ia benci. Saat ia harus mengabarkan berita duka pada keluarga pasien.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Pak Harsono sudah meninggal dalam perjalanan. Waktu meninggal, selasa 21 Maret 2018, pukul 13.00 Wib. Akibat penyumbatan pembuluh darah ke jantung." Jelas Beno.
Seketika tangis pecah. Dua perwakilan keluarga pasien itu segera berlari menghambur ke ruang resus.
"Bapaaakkk !!!" jerit salah satu anak Pak Harsono.
Beno kembali menghela napas, alot. Cukup alot sampai ia merasakan sesak luar biasa. Hari ini ia gagal menyelamatkan nyawa pasiennya. Ini yang pertama kali bagi Beno selama ia menjadi dokter umum.
Cowok berkulit hitam manis itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa pantry tempat istirahat dokter. Menengadahkan kepala sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Beno bisa mendengar suara pintu pantry terbuka lalu tertutup lagi, ia sama sekali nggak peduli dan masih pada posisi semula.
"Udah, Ben. Jangan terlalu dipikirin." Suara Reza menginterupsi keheningan yang sedang Beno nikmati. Beno cuma menoleh sekilas.
"Gue ngerasa gagal, Bang. Ngerasa nggak berguna jadi seorang tenaga medis." Jawab Beno dengan suara paraunya.
Reza menepuk paha Beno, "Kita ini dokter, bukan Tuhan. Ketika kita sudah berusaha dengan maksimal buat menyelamatkan nyawa seseorang, jika Tuhan berkehendak lain kita bisa apa ?"
Beno diam tak bergeming. "Lo nggak mungkin berhenti jadi dokter cuma gara - gara gagal nyelametin nyawa satu pasien lo kan ? Ben, masih banyak orang yang membutuhkan tenaga medis. Masa lo mau nyerah gitu aja sih ?" Nasihat Reza. Untung aja yang nemuin Beno kala down, itu adalah Reza. Seniornya ini emang tahu banget bagaimana cara mensupport juniornya ini.
"Udah selesai dinas kan lo ? Makan yuk ke kafetaria. Laper banget gue. Pasien gue di poli umum banyak banget, sumpah jadi laper gue."
"Bentar bang, gue mau operan sama Ratna. Nanti nyusul deh." Jawab Beno.
"Oke !" Reza bangkit dan berjalan sambil bersiul - siul, ciri khas dokter berperawakan tinggi besar itu.
.......
Selesai operan dinas dengan dokter shift siang, Beno segera menyusul Reza ke kafetaria yang kebetulan berada di samping IGD, jaraknya hanya lima puluh meter saja. Baru aja Beno menutup pintu samping IGD dan hendak berbalik, tanpa sengaja ia bertubrukan dengan seorang cewek berambut pendek sebahu, hingga kertas Hvs yang dibawa cewek itu jatuh tepat menimpa kakinya. Beno mengerang dan reflek mengangkat kakinya yang rasanya nyut - nyutan.
"Eh... ya ampun!! Maaf, dok... Maaf... !!" Cewek itu kelihatan panik dan tanpa sengaja menjatuhkan kertas lainnya ke kaki Beno yang sebelah kanan.
"Hnggghhh.... !!!" Beno melotot saat merasakan kertas sebanyak satu rim itu menimpa kakinya yang lain. Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. Kasihan Beno.
"Astaga... !! Maaf !!" Cewek itu reflek berjongkok mengusap sepatu kets hitam yang Beno pakai, seolah apa yang dilakukannya mampu mengurangi rasa sakitnya.
"Eh...eh... Mbak !" Beno kaget dengan gerakan reflek. Buru - buru ia menyuruh cewek itu berdiri. Nggak enak soalnya dilihatin banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentang Ganindra
FanfictionBentang Ganindra ? Siapa yang nggak kenal dia ? Muda, tampan, cerdas dan mapan. Beno, panggilan akrabnya, begitu di puja para wanita di rumah sakit tempatnya bekerja. Beno itu cool, penuh misteri. Membuat seluruh wanita penasaran dibuatnya. Seperti...