2

6K 256 87
                                    


"Gimana rencana pernikahan kamu? Lancar-lancar ajakan?" Tanya Glen sembari meminum kopi susunya.

Gania mengangguk tanpa menghentikan aktifitas tangannya yang sedang mengoles selai keselembar roti tawar.

"Lancar kok, mas. Tinggal nyebarin undangan aja."

"Oh, kalau masalah itu gampang. Keenan pasti udah nyebarin sendiri."

"Iya, sih. Tapi aku pengen ngundang temen-temen SMP kita dulu, mas."

Glen pun memangut-mangut paham. Ia kembali memakan roti tawar isi selai coklat pemberian Gania tadi.

"Oh, iya. Mas denger minggu depan Keenan berangkat keluar kota ya?" Tanya Glen.

"Iya, mas. Ada kerjaan yang gak bisa Keenan  tinggalin," jawab Gania sembari duduk dikursi makannya. "Kalau gak 4 hari, 5 hari Keenan pulang."

"Ah, tuh anak! Mau nikah masih aja sibuk," ujar Glen dengan raut wajah sedikit kesal. "Awas aja dia tiba-tiba ngundurin tanggal pernikahan kalian karena gak bisa ninggalin kerjaan!"

"Ya, gak mungkinlah, mas. Keenan pasti tahu mana yang harus diproritasin sama yang gak harus diproritasin," sahut Gania kemudian.

"Kamu tahu sendirilah, Ga. Kalau udah menyangkut masalah kerjaan, mana pernah Keenan tinggalin. Contohnya waktu makan siang bareng Kakek, dia gak dateng cuman gara-gara dia ada meeting dadakan sama klien--kan?"

Gania menghentikan kunyahan roti didalam mulutnya. Ucapan Glen barusan membuat egonya sedikit tersindir. Apa lagi perkataan Glen barusan memang benar adanya.

Memang benar. Semenjak Keenan bekerja menjadi Presiden Direktur di perusahaan milih ayahnya, ia selalu mengutamakan pekerjaannya.

Kadang ia dan Keenan bertemu hanya sebulan sekali. Kadang juga tidak bertemu sama sekali.

Itu karena Keenan yang terlalu sibuk kerja dan keluar kota.

"Mas gak masalah dia gila kerja atau gimana. Malah bagus kalau dia kerja, berarti masa depan kamu terjamin dong sama dia?" Lagi-lagi Glen bersuara. "Tapi kalau menyangkut sama keluarga, seharusnya Keenan lebih mentingin keluarga dari pada klien-kliennya itu."

"Mungkin kerjaan kemaren emang gak bisa Keenan tinggalin, mas." Gania masih berusaha membela Keenan dihadapan saudara kembarannya itu. "Mungkin ajakan itu cara dia buat konsisten sama kerja yang dipilih dia."

"Terserah kamu deh, Ga. Mau mas ngomel sampai mulut mas berbuih juga gak bakal masuk ketelinga kamu!"

Ucapan Glen barusan membuat Gania semakin dilema. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

Membenarkan ucapan Glen sama saja menghianati ucapannya sendiri yang tidak masalah dengan kesibukan Keenan. Tapi menyalahkan ucapan Glen juga sama-sama hal yang tidak benar.

Oh, sungguh!! Sepertinya ia harus membicarakan ini dengan Keenan. Ya, ia harus membicarakannya. Sebelum semuanya terlambat.




******






Disinilah mereka. Di tempat makan yang selalu menjadi tempat andalan jika Gania ingin bertemu dengan Keenan disaat jam kerja.

Tidak jauh dari kantor Keenan dan juga tidak membuang waktu istirahat Keenan.

Sepiring spageti dengan saus padang yang selalu menjadi menu favorit Gania. Serta jus alpukat dengan campuran susu coklat diatasnya.

Sedangkan Keenan memesan burger ukuran medium untuk mengisi perutnya dan jus jeruk sebagai penghilang dahaga. Meskipun tadi ia sudah makan bersama dengan karyawan di kantornya sebelum bertemu dengan Gania.

Mereka menyantap makanannya dalam diam. Hingga kemudian, Keenan membuka suara terlebih dahulu.

"Pelan-pelan makannya. Aku gak bakal minta kok," ujar Keenan sembari mengelap saus spageti yang menempel diujung bibir Gania. "Kelaperan dari mana? Hmmm?"

"Eh! Aku makan belepotan, ya?" Tanya Gania sembari mengambil tissu dan mulai mengelap ujung bibirnya. "Tadi pagi aku cuma sarapan roti, habis itu ngajakin kamu kesini. Jadi, gak sempet makan."

"Hm, makanya makan yang banyak sebelum keluar rumah."

"Iya, iya."

Keenan kembali memakan pesanannya dan Gania juga kembali memakan spagetinya dengan perlahan. Sesuai perintah Keenan.

"Oh, iya. Tadi kamu bilang ada yang mau kamu bicarain. Mau bicarain apa?" Tanya Keenan kemudian.

"Hm, gini. Tadi Glen ngungkit lagi masalah makan malem yang tertunda gara-gara kamu gak dateng," jawab Gania.

Kerut Keenan mengerut. Kemudian melontarkan pembelaan. "Loh, bukannya aku udah ngasih tahu kalau ada meeting mendadak, ya?"

"Iya. Tapi Glen masih permasalahin itu."

Keenan terdiam. Ia sedikit tidak menyangka jika Glen mempermasalahkan hal kecil seperti itu. Apa lagi, masalah itu sudah berlalu. Sekitar 2 bulan yang lalu mungkin.

"Glen jadi ragu sama kamu. Ragu sama pernikahan kita, Kee."

Ucapan Gania barusan membuat keterkejutan Keenan semakin bertambah. Bagaimana bisa Glen mempunyai pikiran seperti itu?

Hanya masalah makan malam bersama, lalu menyerembet kearah pernikahannya?

Oh, sungguh! Ini tidak masuk akal.

"Kamu terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan kamu. Aku gak pernah masalahin ini, karena aku selalu ngerti keadaan kamu," ujar Gania. "Tapi aku gak bisa maksain Glen sama Kakek buat ngertiin keadaan kamu saat ini."

Otak Keenan berpikir keras. Memang benar. Semenjak masuk kedunia pekerjaan, ia jarang sekali mempunyai waktu untuk Gania. Bahkan keluarganya sendiri ia tidak punya.

"Mending sekarang gini, deh." Gania menggenggam punggung tangan Keenan. "Kamu atur jadwal kamu, terus kasih tahu aku, biar aku yang urus suasana buat gantiin makan malem yang tertunda kemarin. Gimana?"

Keenan masih belum bergeming. Pikirannya sedikit kalut kearah Glen yang meragukan dirinya untuk menikahi adiknya.

"Gimana? Mau gak?" Tanya Gania lagi.

Keenan menghembuskan nafasnya berat. Ingin protes, rasanya tidak lucu jika ia marah kepada Gania. Sedangkan saat ini, ia ingin memukul wajah Glen karena keraguannya.

Ada sedikit benarnya juga. Mungkin, Glen takut adiknya tersakiti oleh dirinya.

"Yah... oke."

Gania tersenyum. Senyuman manis yang selalu menjadi obat penenang untuk Keenan.

"Love you, Kee."

"Love you to, Gania."








******





Masih lanjut gak ni? Wkakq

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BE MINE 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang