4.Melepas Mimpi

15 4 2
                                    

-unless-

Ratna memandang kosong ruangan di depannya. Kedua netranya berkaca-kaca, ada sedih, marah, dan kecewa yang terpancar.

Nyatanya ia harus kehilangan orang yang ia kasihi, anak kesayangannya, terlebih dahulu sebelum hidupnya habis dimakan usia.

Ia baru saja ditinggalkan.

Wanita itu mencoba tegar, di umurnya yang tidak bisa dikata muda lagi, ia harus menjalani hidupnya seorang diri.

Dengan sedikit bergetar, ia membuka pintu ruangan di depannya. Ruang kerja Ardi, anaknya.

Ruangan itu masih sama, seperti belasan tahun lalu saat masih ditempati oleh suaminya. Anak kesayangannya itu tahu benar bagaimana mengenang orang yang sudah lama pergi.

Tidak ada yang berubah sedikitpun, warna temboknya masih sama -seperti dalam ingatan Ratna kala itu- meski ia yakin sudah di cat ulang beberapa kali.

Meja kerja di tengah ruangan, lemari buku, semua masih pada tempatnya.

Dan satu sofa panjang di sisi kiri ruangan... Persis seperti yang dulu sering ia tempati saat menemani suaminya lembur.

Ia juga ingat, mereka -keluarga hangat yang ia miliki dulu- berbagi tawa di sofa itu.

Kendati demikian, jelas ruangan itu kini berbeda. Aroma ini... Aroma anaknya. Aroma yang selalu ia sukai, seperti aroma suaminya.

Ratna tertawa miris mengingat semua kebahagiaanya dulu.

Teringat suatu hal, ia mengambil ponsel dari dalam tas, mengetikan sebaris angka, lalu saat itu juga mendialnya.

"Saya minta kasus anak saya diusut hingga tuntas."

Bagaimanapun ia harus memperjuangkan keadilan untuk anaknya.

-unless-

Sejak beberapa waktu lalu, gadis itu masih setia dengan posisinya, duduk sambil memandangi kertas di tangannya dengan nanar. Sudah benarkah keputusannya, entahlah.

"Phire, kamu yakin?" Tanya Luna yang sedari tadi menemani sahabatnya yang sedang murung itu.

Phire hanya diam, tidak menjawab iya ataupun tidak.

"Aku tau ini berat, karena bernyanyi sudah seperti hidup buat kamu. Aku paham, Phire."

"Kamu nggak mau mikirin ini lagi?" Tanya Airin yang sedari tapi juga ikut menemani.

Phire dengar kata-kata sahabatnya itu, mereka benar. Bernyanyi sudah seperti hidup baginya.

"Pikirin lagi Phire, kamu nggak mungkin melepas Starium gitu aja."

"Tapi aku harus!"
.
.
.
Ini terasa berat untuk gadis itu. Bernyanyi adalah mimpi sekaligus hidup phire. Starium adalah bagian dari hidupnya yang berharga. Namun, sekarang terasa berbeda. Mimpi itu yang merenggut semua bagian dari hidup Phire yang lain kan? Papa, Mama, dan Kak Danu.

Persetan dengan mimpi! Gadis itu sudah tidak perduli lagi. Keputusannya sudah bulat. Ia tidak ingin terus dibayangi rasa bersalah.

Dengan gamang, Phire mengetuk pintu ruangan di hadapannya, ruang musik sekaligus basecamp Starium.

"Silahkan masuk!" Suara dari dalam ruangan.

Phire ragu lagi untuk kesekian kalinya. Rasanya ia ingin berlari menjauh saja dari ruangan itu, ia tidak sanggup. Bagaimanapun ini keputusan yang besar. Tapi tidak ada pilihan lain, Phire harus melakukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang