1. Cincin Bermata Biru

6.4K 379 14
                                    

Bibin mengemasi baju-baju ke dalam koper. Gadis yang saat ini memakai jilbab bergo kuning itu akan berangkat ke Desa Sadang esok hari. Desa itu ada di ujung utara Jawa Tengah. Dia akan mengawali pengalaman kerjanya sebagai fasilitator program penyediaan air bersih untuk masyarakat desa.

Sebenarnya dia juga bertugas di tiga desa lainnya yang berdekatan dengan Desa Sadang. Tetapi, Bibin akan indekos di rumah salah satu warga Sadang, demi kelancaran pekerjaannya. Lagipula dia juga punya misi rahasia di desa itu.

"Yakin mau berangkat sendiri?" tanya Ira, mama Bibin yang duduk menyilang kaki di kursi kayu, sambil memperhatikan semua kegiatan anaknya.

Bibin menghentikan aktivitasnya sejenak dan memandang Ira. "Kan sama Vera juga, Ma," jawabnya.

"Kamu tuh ya, ngapain kerja jauh-jauh? Di kantor kontraktornya Om Hamdi kan bisa," protes Ira untuk yang kesekian kali. Bibin sampai bosan mendengar rayuan mamanya untuk membatalkan keberangkatannya. Gadis cantik berhidung mancung itu menghela nafas.

"Ah, Mama. Nggak ada tantangan, dong. Waktu itu Bibin juga kerja praktiknya di tempat Om Hamdi," jawab Bibin.

"Tapi kan... Sadang itu jauh dari Semarang. Lima jam, lho." Ira masih belum menyerah membujuk anak satu-satunya itu.

"Ma, Bibin itu bisa diterima jadi Fasilitator setelah ikut tes, lho. Bersaing sama banyak lulusan Teknik Sipil. Masa mau dibatalin," ujar Bibin. Dia sudah tak bisa mempertahankan wajah santai. Bibirnya maju beberapa centimeter dan mukanya terlihat masam.

"Masih belum nyerah bujukin anakmu?" Tiba-tiba suara berat laki-laki terdengar, ketika suasana tegang sudah tampak antara Bina Amani atau Bibin dan Ira. Jamal, suami Ira saat ini sudah berdiri di tengah pintu kamar Bibin.

"Iya tuh, Pa. Mama memang nggak pengen anaknya jadi mandiri," rajuk Bibin.

Jamal tertawa. "Mamamu itu khawatir, bukan nggak pengen anaknya mandiri," kata Jamal bijak.

"Betul kata Papamu. Kalau ada apa-apa di sana gimana?" tanya Ira. Gurat wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

"Ma, nggak akan terjadi apa-apa," balas Bibin menenangkan.

"Tapi kan... Kamu belum pernah pergi jauh sendirian seperti ini," debat Ira lagi.

"Makanya Bibin harus coba. Kalau nggak dicoba, ya mana tahu Bibin bisa atau tidak," balas Bibin tak mau kalah.

"Sudah... Sudah... Kalian ini sukanya berdebat saja. Yang penting Bibin nanti harus hati-hati. Mama ini kayak nggak tahu Bibin aja, kalau dia sudah punya keinginan, makin dilarang ya malah makin tertantang." Jamal menengahi perdebatan istri dan anaknya.

"Sip, Pa. Bibin pasti hati-hati kok," kata Bibin sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Ya udah, deh. Anak Mama satu-satunya nggak sayang sama Mama. Hiks." Ira mulai mengeluarkan air mata buayanya.

Bibin yang tahu Ira hanya pura-pura, segera memeluk mamanya. "Mana mungkin Bibin nggak sayang. Tapi kan Bibin harus belajar mandiri. Kan Mama sendiri yang bilang, anak Mama yang cantik ini tak boleh manja, meskipun anak tunggal," rayu Bibin.

"Tapi janji sering-sering pulang, ya," kata Ira mulai membuka hati.

"Tentu, Mamaku tercinta," kata Bibin sambil mencium pipi Ira. Kali ini Ira sudah bisa tersenyum lega.

**

Setelah Jamal dan Ira keluar dari kamar, Bibin mengambil sebuah buku tua dari dalam tasnya. Dia mengelus sampul buku berwarna coklat tua itu. Lalu membuka lembar-lembar kertas buram di dalamnya. Tinta hitam yang tertulis di sana telah pudar, sehingga beberapa tulisan tak terbaca jelas.

Perempuan Pembawa Tuah (END) - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang