Suamiku mempunyai dua orang sahabat. Mereka dekat bagaikan saudara. Tetapi sayang, satu orang ternyata ular berkepala dua. Pengkhianat itu datang bersama serombongan tentara. Datang di saat semua terlelap. Menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Anak-anak tak selamat. Hanya seorang bayi yang bisa kubawa pergi.
Aku bersumpah mengutuk orang itu, dia tak akan bisa memimpin desa Sadang. Akan terus ada huru-hara dalam pemerintahannya. Tak akan ada ketenangan. Selamanya. Juga untuk keturunannya. Kecuali ada perempuan pendamping yang bisa memberi keberungungan.
Hari ini Bibin tak ada kegiatan yang harus dikerjakan. Rapat koordinasi di tingkat kabupaten akan dilaksanakan esok hari. Karena itu Bibin kembali membaca buku milik Mbah Mirah. Dia juga membuat catatan-catatan. Feeling-nya mengatakan ada sesuatu dengan rumah Supri di dekat sungai.
Jika dulu Mbah Mirah bisa mendengarkan suara air berkecipak dan desau angin di rumahnya, sepertinya rumah Supri sangat cocok dengan deskripsi itu. Lagipula rumah berbahan kayu jati di dekat sungai itu terlihat sangat tua.
Lalu Bibin juga teringat ketika Supri mengatakan dia harus menjaga cincin yang sekarang dipakainya.
"Apa orang itu tahu sesuatu?" batinnya.
Lantas apa yang membuat Mbah Mirah pergi dari Desa Sadang? Kenapa anak-anak tak selamat? Bagaimana suaminya? Kembali Bibin mencatat di notes andalannya. Karena tidak semua bagian buku bisa dibaca dengan jelas, jadi Bibin mencatat satu-persatu clue yang bisa dia jadikan petunjuk.
Tok...tok...tok...
Suara pintu diketuk, saat Bibin sedang asyik-asyiknya membuat bagan di buku catatannya.
Bibin membuka pintu kamar dan mendapati Vera di depan pintu.
"Suntuk banget nggak ada kegiatan. Keluar, yuk," ajak Vera.
"Kemana?" tanya Bibin.
"Kemana aja, yang penting keluar. Ke sawah sebelah juga boleh," kata Vera.
"Oke, deh. Aku beresin ini dulu," balas Bibin sembari membereskan buku dan laptop di kasurnya.
"Gimana hubungan kamu sama Mas Janu?" tanya Vera ketika mereka berjalan keluar rumah. Dia menaik-turunkan alisnya disertai senyuman jahil.
"Hubungan apa?" sangkal Bibin.
Vera tertawa. Sebenarnya dia hanya menggoda sahabatnya sejak SMA itu. Sebagai sahabat, Vera tahu kalau Bibin belum pernah dekat dengan cowok satu kalipun. Padahal yang pedekate lumayan banyak. Jadi tak ada salahnya menjodohkan Bibin dengan kepala desa yang masih single itu.
Saat ini mereka berdua sudah berjalan menuju areal persawahan yang ada di sebelah barat rumah Aminah. Beberapa orang petani yang sudah mengenal mereka tersenyum dan menganggukkan kepala tiap berpapasan. Dan sebagai bentuk sopan-santun, mereka juga membalas senyum itu.
"Kayaknya Mas Janu suka sama kamu," bisik Vera. Bibin langsung mendelik.
"Nggak mungkin lah. Kenal juga baru tiga hari," sanggah Bibin.
"Yang semalam apa?" cecar Vera.
"Apaan?" Bibin mengernyit.
"Aku lihat Mas Janu keluar dari kamarmu," ucap Vera. Bibin terkesiap. Dia tidak tahu kalau ternyata semalam Vera tahu hal itu.
"Semalam waktu aku mau ke kamar mandi, aku lihat Mas Janu keluar dari kamarmu," ulang Vera.
"Jangan curigaan, deh. Semalam itu ada tamu tak diundang, mengendap-endap di dekat jendela kamarku. Orangnya lari. Terus Pak Kades meriksa kamarku, khawatir kalau orang itu masukin apa-apa," jelas Bibin, terdengar agak kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pembawa Tuah (END) - Terbit
Mystery / ThrillerHapus sebagian besar - Terbit E-book di Elex Media Komputindo - Gramedia Digital Bina Amani (Bibin, 23 tahun) dibuat penasaran dengan catatan Nenek Canggahnya (atasnya buyut). Untuk menyelidiki hal itu, ia nekad mendaftar sebagai Fasilitator Program...