Katana merah milik Bibin sudah berjalan selama hampir lima jam dari kota Semarang. Tadinya setir dipegang oleh Hilmi, fasilitator senior yang membawahi para fasilitator sekabupaten. Namun, Hilmi turun di kota Kabupaten. Sedangkan Bibin yang merupakan fasilitator teknik dan Vera yang fasilitator pemberdayaan, meneruskan perjalanan menuju Desa Sadang. Kali ini Bibin yang mengendarai mobilnya.
"Sudah mau sampai nih, Ver," seru Bibin sambil mengguncang tubuh Vera di kursi penumpang. Vera menggeliat dan mengerjap-ngerjap, membiasakan sinar tertangkap matanya.
"Tuh, ada petunjuk jalannya. Desa Sadang," kata Bibin, telunjuknya mengarah pada petunjuk jalan.
"Jam sebelas, nih. Kita kemana dulu baiknya? Langsung ke balai desa atau gimana?" tanya Vera. Netranya membaca jarum jam yang berdetik di tangannya.
"Mending ke balai desa dulu kayaknya. Kita laporan, sambil nanya alamat kos kita. Gimana?" Bibin minta pertimbangan Vera.
"Oke, deh." Vera mengacungkan jempol.
"Mas Hilmi beneran sudah ngasih tahu calon induk semang kita, kan? Takutnya nanti kita ke sana, orangnya nggak siap," tanya Vera.
"Sudah, Vera sayang. Berapa kali kamu tadi nanya begitu sama Mas Hilmi," balas Bibin sambil geleng-geleng kepala.
"Takutnya Mas Hilmi lupa. Di desa begini, mau nginep dimana kita kan?" Vera memandang keluar mobil. Sepanjang jalan, hanyalah sawah yang sedang dipanen padinya. Beberapa petani melihat ke arah mereka penuh rasa ingin tahu.
"Sepertinya akan asyik tinggal di desa seperti ini," kata Vera sambil membuka jendela mobil. Dia melempar senyum dan melambaikan tangan pada orang desa yang kebetulan ada di jalanan. Orang-orang tersenyum dan saling berbisik, mungkin heran dengan sikap Vera.
"Udaranya seger banget," ujar Vera seraya menghirup udara dalam.
Bibin hanya geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan sahabatnya itu.
"Eh, memangnya kamu tahu arah balai desa?" tanya Vera.
Bibin menggeleng.
"Kenapa nggak bilang dari tadi? Kita bisa nanya petani tadi kan?" omel Vera yang dijawab cengiran oleh Bibin.
"Ada orang tuh, berhenti sebentar. Kita tanya mereka," usul Vera.
"Okwe deh, Vera sayang," jawab Bibin sembari menjawil pipi Vera.
Vera turun dari mobil setelah Bibin menghentikan mobil. Dia menemui dua orang yang sedang membenahi motor di pinggir jalan.
"Maaf, Mas. Kalau jalan ke balai desa lewat mana, ya?" tanya Vera.
Dua orang itu saling berpandangan sebelum salah satunya menjawab, "Lurus saja, Mbak. Nanti ada pertigaan, pilih arah kanan. Nggak sampai seratus meter, sebelah kanan jalan, di sana kantor balai desanya. Ada tulisannya, jadi pasti ketemu."
"Oke, Mas. Terima kasih ya," ucap Vera sambil tersenyum ramah.
"Apa mereka ya yang dimaksud sama Mbah Darmo?" tanya lelaki yang menjawab pertanyaan Vera. Dia adalah Baskoro. Tentu saja dia bersama Saryono atau Yono.
"Kita ikuti mereka, Bos?" tanya Yono.
"Hm... Sudah bener motornya?" tanya Baskoro.
"Eh, belum," jawab Yono sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Makanya benerin dulu." Baskoro mengeplak kepala Yono. Yang dipukul, mengelus kepalanya sambil bergumam tak jelas.
***
"Depan tuh kayaknya kantor desanya," tunjuk Vera pada sebuah bangunan dengan plang kantor desa Sadang.
Bibin segera mengarahkan mobilnya menuju tempat yang ditunjuk Vera. Sebuah gapura menyambut mereka, kemudian terdapat halaman kantor yang cukup luas. Beberapa motor dan sebuah mobil sedan ada di halaman kantor desa. Beberapa warga yang membutuhkan pelayanan administrasi, tampak hilir-mudik di pintu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pembawa Tuah (END) - Terbit
Misterio / SuspensoHapus sebagian besar - Terbit E-book di Elex Media Komputindo - Gramedia Digital Bina Amani (Bibin, 23 tahun) dibuat penasaran dengan catatan Nenek Canggahnya (atasnya buyut). Untuk menyelidiki hal itu, ia nekad mendaftar sebagai Fasilitator Program...