22

281 33 0
                                    


Luna memperhatikan pantulan dirinya di cermin, bertanya-tanya seorang diri kepada dirinya sendiri. Pernahkah ia melakukan kesalahan yang fatal sebelumnya?

Namun sepertinya tidak ada, tapi jika bertanya kepada Marvel yang dulu mungkin laki-laki itu akan menjawab ada. Tapi masalah masa lalu itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Ira, pacar Marvel.

Perkataan Ira kemarin terus-menerus mengusik Luna, semalaman ia tak bisa terlelap karena terus memikirkan kata-kata perempuan itu yang sungguh tak Luna tau apa maksud dan ke mana arah pembicaraan nya.

Luna melangkahkan kaki menjauh dari meja rias menuju balkon kamarnya, di perhatikannya Marvel yang baru saja menutup gerbang rumah mereka. Tanpa berpamitan dan mengatakan sepatah kata, Marvel meninggalkan Luna begitu saja.

Getaran yang berasal dari benda pipih di dekatnya mengalihkan atensi Luna, dengan segera di raihnya benda itu lalu menempelkan di daun telinga, setelah di gesernya tombol berwarna hijau yang semua tertampil di layar.

"Assalammualaikum Luna, kamu itu jangan terus-terusan jadi pasien yang nakal ya. Buruan ke sini atau saya yang jemput kamu ke sana," celetuk orang di sebrang sana yang bukannya membuat Luna takut, malah membuahkan tawa.

"Waalaikumsalam Dokter muda. Jangan marah-marah ah masih pagi tau! Luna datang sebentar lagi, dadah," Luna pun mematikan sambungan telepon tatkala ia mendapati kembali ocehan dari Isqi.

Di letakkan nya kembali benda pipih itu asal, lalu berjalan mendekati rak pakaiannya memilih sebuah baju yang rasa-rasanya cocok untuk ia kenakan pada hari ini.

Sebuah kaus lengan panjang berwana cream dan di padukan dengan rok yang sebatas lutut dengan warna yang serupa. Luna membiarkan rambutnya tergerai, dengan begitu ia lebih terbiasa.

Di raihnya sling bag berwarna coklat muda, lalu kakinya kembali melangkah menyusuri rumah sampai langkahnya berhenti tepat di depan halaman rumahnya.

Lalu setelah menutup gerbang rumah yang menjulang tinggi, Luna kembali melanjutkan langkah dengan memasuki mobilnya dan setelahnya mobil itu pun melaju membelah keramaian kota.

Beberapa hari belakangan ini Luna bisa dikatakan begitu rutin menjalani chek-up, tak perlu di katakan pun pasti kalian tau. Bahwa ia ingin baik-baik saja, walau mungkin kesembuhan itu sangat sulit tuk ia raih.

Beberapa menit berlalu, kini Luna telah sampai di rumah sakit. Seperti biasa ia menyusuri koridor yang panjang, dengan beberapa orang dan suster yang sibuk berlalu-lalang menjalankan kewajiban.

"Hai Dokmud kesayangan nya Luna," seru Luna riang gembira setelah di tutupnya pintu ruangan itu.

Seseorang yang berada dalam ruangan itu mendengus kan nafas gusar, karena lagi-lagi ia mendapat julukan dari pasien spesialnya itu.

"Dokmud apaan? Dokter muda?" ucap Isqi menerka-nerka.

Luna mengangguk kan kepala, mengiyakan lalu setelahnya tertawa melihat ekspresi orang di depannya itu. "Ini buat Dokmud, maaf ya cuma buah," ujar Luna sembari memberikan sekeranjang buah ke atas meja milik Isqi.

"Cuma buah-cuma buah, padahal seharusnya itu kamu enggak perlu bawa buah tangan setiap kesini Luna. Kak Isqi jadi gak enak tau gak, kamu nih," tandas Isqi yang sudah beberapa hari ini di berikan sesuatu terus oleh Luna.

Luka Lara Luna || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang