02 : warm

5 1 0
                                    

playlist 2 : fix you - coldplay

-----

Hana serius dengan ucapannya tentang membiarkan Juna menginap semalam di apartemen kecil miliknya karena ia tahu dari gerak-gerik Juna bahwa Juna sedang tidak baik-baik saja.

"Maaf kalau apartemen nya terlalu kecil," kata Hana. "Cuma ada satu kamar, lo ngga keberatan tidur di sofa?"

Juna menjatuhkan badannya di atas sofa. "Ini udah lebih dari cukup, makasih."

Mendadak suasana menjadi canggung karena Hana baru pertama kali kedatangan tamu laki-laki selain anggota keluarganya apalagi yang ini orang yang baru ia kenal.

"Kalau gitu gue langsung istirahat." Ucap Hana. Namun sebelum masuk ke dalam kamar Hana kembali berbalik untuk mengatakan hal yang cukup penting.

"Oiya, kalau lo mau mandi, kamar mandinya ada di sebelah sana," Hana menunjuk pintu yang terletak di dekat dapur. "Tapi shower nya agak bermasalah jadi harus sedikit sabar."

"Oke." Balas Juna

"Terus kalo lo laper bisa ambil camilan di kulkas dan kalau pingin nonton tv tinggal nyalain aja. Anggap aja rumah sendiri." Lanjut Hana.

Juna mengangguk paham. Ia kemudian berbalik menatap Hana yang masih berdiri di depan pintu kamar.

"Makasih. Lo engga perlu repot-repot sebenernya." Ucap Juna dengan senyuman yang bisa Hana rasakan benar-benar tulus.

Setelah Hana masuk kamar dan pintu tertutup, Juna memandang kosong ke arah pintu kamar Hana. Detik berikutnya ia kembali tersenyum karena diperlakukan baik oleh seseorang setelah sekian lama.

Malam ini sepertinya ia bisa beristirahat lebih awal tanpa obat tidur karena Hana sudah menjadi penenang untuknya.

*****

Bau nasi yang baru matang menguar ke seluruh ruangan apartemen milik Hana. Suara pisau yang digunakan untuk memotong sayuran membuat suasana apartemen jauh lebih hidup.

Hana sudah lama tidak memasak untuk sarapan. Berhubung sekarang dirinya sedang kedatangan tamu akhirnya ia memilih untuk kembali memasak meskipun tidak seberapa.

Juna yang mendengar adanya aktivitas di dapur perlahan membuka mata. Ia mengambil handphone miliknya yang ternyata mati kehabisan daya.

"Udah bangun?" Hana mengintip dari balik sekat pembatas dapur.

"Hm, gue boleh pinjam charger? Handphone gue mati." tanya Juna.

Hana mengangguk. "Tunggu sebentar."

Juna membuka tirai jendela yang ternyata terdapat balkon di baliknya. Ia membuka sedikit pintu balkon supaya udara pagi dan sinar matahari masuk ke dalam ruangan.

"Ini." Hana memberikan charger miliknya yang langsung diterima oleh Juna.

"Lain kali harus kalo pagi dibiasakan pintu balkonnya terbuka supaya sirkulasi udara lancar." Kata Juna

"Biasanya emang selalu terbuka kalo pagi, cuma tadi gue pikir sinar matahari yang masuk bakal ganggu tidur lo," jelas Hana. "Udah ayo sarapan."

Juna mengekor Hana menuju dapur. Ia sedikit terkejut karena Hana ternyata sudah menyiapkan sarapan untuknya. Sederhana tapi memiliki kesan hangat bagi Juna

"Udah gue bilang lo engga perlu repot-repot." Kata Juna yang masih merasa tidak enak hati.

"Kata Ibu gue kita harus memperlakukan tamu sebaik mungkin, meskipun cuma berkunjung sebentar tetep aja," balas Hana dengan senyuman tulus. "Maaf cuma ini yang bisa gue masak. Stok bahan makanan juga udah pada habis."

"Ini udah lebih dari cukup, Han."

Juna benar-benar tidak berhenti tersenyum sepanjang sarapan. Banyak hal yang mereka berdua bicarakan bahkan mereka terlihat sangat dekat padahal baru bertemu secara langsung semalam.

Sudah lama sekali Juna tidak merasakan hangatnya suasana pagi semenjak orang tuanya selalu bertengkar setiap hari. Bahkan Juna hampir terkena maag akut karena jarang sekali makan ditambah jam tidur yang berantakan.

Namun, hari ini sesuatu yang hangat seperti menyelimuti hatinya. Masakan yang Hana buat berhasil membuat rasa rindunya kepada rumah sedikit terobati.

"Masakan lo lumayan juga." Juna memuji dengan mulut penuh makanan.

"Makasih, padahal gue udah lama ngga masak sarapan sendiri." Balas Hana diiringi dengan tawa ringan.

Mereka menghabiskan makanan dengan tenang hanya sesekali bertanya beberapa hal.

"Juna, gue boleh minta tolong sekali lagi?" tanya Hana.

"Tergantung. Gue harus dengar permintaan lo dulu." Jawab Juna.

"Cuma permintaan biasa," kata Hana. "Bisa tolong anterin gue ke kampus? Ada kuliah pagi."

Juna tertawa kecil mendengar permintaan Hana. "Gue baru aja mau menawarkan tumpangan."

"Wow, kekuatan telepati kita bagus juga." Hana tersenyum lebar. "Kalau gitu gue siap-siap dulu biar ngga telat."

Hana membereskan piring dan gelas kotor untuk dicuci. Ia harus membersihkan semuanya sebelum pergi meninggalkan rumah.

Sedangkan Juna tanpa sadar mengamati Hana yang membelakangi nya. Ia benar-benar ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Hana, tetapi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

*****

Setelah mengantar Hana ke kampus, Juna kembali pulang ke rumahnya. Entah apa yang akan menyambut kedatangannya di dalam nanti, ia sudah tidak peduli.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah. Seperti biasa hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Darimana saja kamu?"

Suara seorang wanita membuat Juna menghentikan langkahnya di anak tangga pertama.

"Apa peduli mama?"

Plak.

Suara tamparan menggema keras di seluruh ruangan. Beberapa asisten rumah tangga disana terkejut karena baru pertama kali melihat sang nyonya menampar keras putra bungsunya.

"Jangan jadi anak kurang ajar."

Juna tersenyum smirk mendengar penuturan sang Mama. "Tumben mama peduli, biasanya Juna ngga pulang tiga hari juga ngga ada yang nyari."

"Juna--"

"Apa?" Juna memotong perkataan Mamanya. "Engga usah pura-pura peduli kalau hanya untuk mencari simpati. Urus rumah tangga kalian, Juna bisa urus diri sendiri."

Setelahnya Juna meninggalkan Mama yang masih berdiri mematung di ujung tangga. Kesabarannya sudah habis karena perlakuan mengejutkan dari sang Mama.

Pintu kamar di tutup dengan keras oleh Juna, tidak peduli apa yang terjadi di luar sana setelah ini. Ia mengunci kamar kemudian membuka jendela balkon. Sebatang rokok yang sudah lama tidak ia sentuh sekarang sudah terapit diantara bibirnya.

Juna lelah tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin rasanya keluar dari rumah dan pergi jauh tapi tidak tahu hendak kemana.

Satu notifikasi pesan masuk terdengar dari handphone miliknya. Begitu melihat pesan si pengirim, ia menoleh ke arah pagar rumahnya. Disana sudah ada Stevan yang melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

Juna melihat sekeliling dan menemukan tangga yang biasa ia gunakan untuk kabur ketika masih SMA dulu.

Kali ini ia tidak lupa membawa tas ransel untuk menyimpan pakaian dan beberapa buku kuliahnya. Mungkin setelah ini ia tidak akan kembali ke rumah untuk waktu yang cukup lama.

*****

Lovesick [1] : 60 Days LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang