Sepintas Kisah dari Rumah Andra

283 22 6
                                    

Andra memasang wajah penasaran saat melihat Fira—teman sekelasnya—duduk mojok sambil melamun. Biasanya, cewek yang rajin menebar meme di grup kelas itu tak pernah keliatan begitu. Lagi ada masalah kah? Hal itulah yang kemudian melintas di kepala Andra. Entah kenapa ia tak tahan melihat cewek yang ketawanya ada di mana-mana itu begitu. Oke, Fira jadi kedengaran seperti kuntilanak sekarang. Tapi serius, suara tawa cewek itu hampir terdengar di seluruh penjuru sekolah ini.

"Ah, kenapa lagi sih ini anak satu?" Tanpa sadar, cowok itu mengacak-acak rambutnya sendiri seolah frustrasi. Sampai, ketika sebuah tangan mendarat di pundaknya, Andra berjengit kaget lantas menoleh. Matanya yang menangkap sosok Ari langsung menajam. Andra kaget. "Sinting! Gue kira apaan tiba-tiba megang bahu, taunya lu, Ri."

Tatapan Ari yang mendapati reaksi Andra seolah membalas, apaan sih?

"Gue kaget tau!" jelas Andra seolah tahu maksud tatapan Ari barusan. Ah, lagi pula ini gara-gara kepalanya malah memikirkan kuntilanak sekilas dan jadi kaget saat sesuatu menyentuh pundaknya. Andra tak bisa mengelak kalau dirinya merasa takut. Menyebalkan memang

"Lagian dari tadi dipanggilin gak nyahut-nyahut. Ngapain lu ngeliatin Fira sampe ketularan ngelamun?"

Penjelasan dan pertanyaan Ari membuat Andra mengerti kalau melamun itu menular. Ah, enggak gitu! Andra buru-buru menggelengkan kepalanya. Itu mah nguap bukan ngelamun, batinnya menyangkal pikiran yang terlintas sebelum itu.

Andra berdehem sejenak, baru kemudian berkata, "Sok tau lu, ah, yang nular itu nguap bukan ngelamun."

Ari melayangkan tatapan tajam. "Sebelas duabelas sama-sama bikin lu keliatan kayak orang ego," tukas Ari tak terbantahkan. Rese memang kalau sudah adu mulut dengan makhluk bernama Ari Hardian ini.

Sejenak hening menyapa sebelum akhirnya Ari teringat apa tujuan ia menghampiri temannya yang berbeda kelas dengannya ini. Ari IPA 2 sementara Andra IPA 3.

"Oke, Gilang bilang kalau lu ilang—"

"Kalimat itu terlalu gampang buat dijadiin—" Andra mencoba memotong ucapan Ari yang terdengar seperti permainan kata yang dibelit-belit entah apa namanya itu. Namun, tatapan Ari mengatakan kalau tidak seharusnya ia memotong dan dengarkan dulu sampai selesai.

"Gue lagi nggak main kata belat-belit, dodol. Bang Gilang bilang kalau lu ilang dari grup dan belom konfirmasi mau ikut nonton basket di gor balik sekolah ini," jelas Ari membuat Andra mengangguk paham, "oh ya, yang lain udah di parkiran habis tadi kumpul di lapangan. Lu yang biasanya dating paling cepet malah ngelamun di sini."

Andra tampak berpikir sejenak, baru kemudian berkata, "Skip kayaknya, mama lagi banyak jahitan di rumah. Lagi ada siswa di komplek jadi ya ... gue kudu bantu-bantu. Btw tadi gue piket jadi telat, habis piket malah kepikiran tuh bocah kenapa malah mojok di sono." Andra menunjuk ke arah Fira.

Giliran Ari yang mengangguk. "Ya udah kalau gitu, entar gue bilang ke Bang Rendy sama yang lain kalau lu nggak ikut nonton. Selamat bantu-bantu dan—" Ari melirik ke arah Fira, "—kenapa lu gak coba aja ajak dia ke rumah? Siswa yang sekarang masih sejenis sama yang terakhir kali lu ceritain ke gue, kan?"

Andra mengerutkan dahinya sejenak, "Yang gue ceritain tahun lalu?"

Ari langsung mengangguk cepat, raut wajahnya yang tadi tampak menyebalkan di mata Andra berubah. "Yang mainin bonek adek lu sampe nangis dan dia malah kaget sendiri." Diam-diam Ari menahan tawa saat mengingat kisah yang diceritakan Andra tahun lalu.

Kala itu, siswa yang diceritakan Andra tengah menjahit sesuatu di rumah Andra—karena mamanya seorang penjahit—dengan teman-temannya, mereka menunggu di ruang tamu. Entah karena sedang bosan, istirahat, atau memang benar-benar tidak ada kerjaan sampai-sampai salah satu dari mereka menemukan boneka bayi lengkap dengan dot di mulutnya milik adik Andra. Dan entah karena inisiatif apa, siswa tersebut melepas dot yang terpasang di mulut boneka tersebut. Tanpa bisa dicegah, boneka bayi tersebut mengeluarkan suara kencang seolah bayi sedang menangis dan membuat siswa tersebut melemparkan boneka itu ke udara. Sontak, teman-teman siswa tersebut dan Andra yang mengintip dari kamar tertawa begitu kencang. Bahkan sampai Andra dipelototi oleh kakak perempuannya yang sebenarnya sudah mau tertawa juga.

"Ahahaha, jangan diinget lagi sumpah. Emang itu mereka gak ada kerjaan atau saking stressnya belajar sama kerja jadi begitu. Tiap tahun memang ada aja sih kejadian yang bikin ngakak."

Tanpa disadari, Ari ikut tertawa. Sementara itu, Fira yang sebelumnya duduk di pojokan sudah berada di dekat mereka lengkap dengan ranselnya—sepertinya mau pulang.

"Gak lucu, jir, gitu doang," tukas Fira tiba-tiba membuat keduanya melongo karena kaget.

Sampai, Ari membuka suara, "Lu nguping tapi gak tau jelas gimana ceritanya. Wajarlah gak ketawa."

"Ya, lagian kalo mereka bukan siswa stand up comedy pasti susah bikin ketawa," balas Fira ketus. Benar, masalah cewek ini sepertinya enggak biasa lagi. Humor Fira itu anjlok, bahkan rumput bergoyang yang tertiup angin pun ia tertawakan. Tapi kali ini ... tidak.

"Lha, gue juga gak bilang mereka siswa stand up comedy kok," balas Andra, "Ya enggak, Ri?" tambah Andra diiringi anggukan Ari kemudian.

"Tuh, kan." Entah kenapa hawa Fira semakin berat. Namun ...

"Mereka bukan siswa stand up comedy karena gue belom pernah nemu sekolah isinya tukang lawak. Lagian kalo lu inget lagi, Andra itu tinggal di komplek tentara. Bukan komplek komika," jelas Ari yang tanpa sadar sudah membuat Fira mendongak dan kini melirik kea rah Andra.

"Hah?"

Andra yang mendapat tatapan itu mengangguk pelan. "Siswa yang biasa jahit di rumah akhir tahun itu siswa combat, kalo gak salah biasanya lulusan akmil. Tentara."

Hening mendekap.

"Jadi, yang mainin boneka sampe nangis itu ... tentara?" Tanya Fira ragu-ragu.

Tanpa mengelak atau apa, Andra dan Ari langsung mengangguk. Sedetik kemudian, tawa Fira pecah di tempat membuat kedua cowok itu memandangnya malas. Benar kan, cewek itu selera humornya anjlok. Ya, lagian tidak salah juga.

Seenggaknya, ini normal dari pada kayak tadi.

END

***

GenreFest 2019: HumorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang