2 - jurang

8.1K 1.3K 118
                                    

"Kenapa? ada masalah?" tanyaku pada Jaemin yang menatap kakinya lamat-lamat namun menutup mulutnya sejak pagi tadi. Sikapnya kembali membuatku khawatir, apakah terjadi sesuatu pada kakaknya?

Jaemin tahu maksudku, namun yang kudapat bukanlah jawaban yang kumaksud, melainkan gelengan pelan dan senyuman singkat yang dipaksakan dari bibirnya. Aku bersedekap, menarik kursi lalu duduk di hadapan Na Jaemin. "Cerita, Na Jaemin." kataku, singkat namun padat dan jelas.

Kedua mata kami saling bertemu, rasanya jantungku hampir lepas dari tempatnya. Bagaimana tidak? Jaemin tiba-tiba menangis.

O-ow, kuharap penggemarnya tidak berfikir yang macam-macam. Bola mataku bergerak-gerak tidak tenang mengamati setiap sudut kelas, mengumpat dalam hati membayangkan bagaimana rambutku akan ditarik-tarik oleh sadisnya penggemar Jaemin. Jari telunjukku berada di depan bibir, mengisyaratkan Jaemin untuk diam.

Jaemin menurut, ia langsung terdiam.

"Ada apa? cerita aja----tapi tidak dengan menangis." ucapku sedikit meringis, membayangkan betapa beringasnya penggemar Na Jaemin jika terjadi kesalahpahaman dengan mereka. Ia terdiam, membuka suara setelah sekian lama. "Kak Brian, Liv..."

"Kak Brian, kenapa?" tanyaku tidak sabaran.

"Keadaannya memburuk.."

"M-maksudmu... meninggal?"

Jaemin menggeleng. Aku menghembuskan nafas lega, kembali menyenderkan punggung di kursi. "Terus?"

"Ia... menghilang,"

"APA?!"

Jaemin menutup mulutku rapat-rapat. Kedua mataku terbelalak menatapnya tidak percaya. Hilang? bagaimana bisa? bahkan kabar ini lebih buruk ketimbang meninggal.

"Aku juga gk tahu, Liv," ucap Jaemin pelan-pelan, dengan perlahan juga ia melepas tangannya dari mulutku. Sedang tubuhku masih membeku di tempat. Jaemin memejamkan matanya perlahan, memadamkan emosinya yang kembali kalut mengingat kakak satu-satunya yang menghilang secara misterius. Aku menelan ludah bersalah, "Maaf..."

Jaemin menggeleng, menepis rasa khawatirku. "Bukan salahmu," ujarnya sambil tersenyum tipis. Tetap saja, rasanya seperti menaruh garam di atas luka, bukan?

Rasanya hal-hal yang terjadi belakangan ini semakin tidak masuk akal. Sekelebat bayang-bayang menenggelamkanku dalam lamunan, bagaimana jika Jaemin tidak kuat menghadapi semua ini? ah, sepertinya aku menjadi overthinking. Jaemin menyadari lamunanku yang menatap lantai kelas dengan hampa. "Sudahlah Liv, tidak usah dipikirkan."

Entah kenapa dadaku menjadi sesak, hidungku membersit, membuat Jaemin gelagapan menghadapi diriku yang sudah berkaca-kaca. Apakah sekarang giliranku yang menangis?

Tangisanku seketika terhenti ketika tubuhku menjadi hangat,

Na Jaemin memelukku.

"Maaf sudah merepotkan, Liv. Tidak usah dipikirkan soal Kak Brian," bisiknya pelan di telingaku. Aneh sekali, suara khasnya yang rendah namun lembut menenangkanku seketika. Sebenarnya yang kukhawatirkan bukanlah Kak Brian, namun kamu, Na Jaemin, bodoh. Setelah kesadaranku kembali pulih, kupingku merah padam menyadari betapa dekatnya jarak kami---tidak, bahkan kami tidak berjarak.

Tanganku mendorong Na Jaemin menjauh secara perlahan, menatapnya dengan pipiku yang merah merona, tidak bisa berkata-kata. Na Jaemin tersenyum usil melihat diriku yang merah bagaikan tomat, raut wajahnya sedikit terlihat lebih baik dibanding sebelumnya. "Udah merasa baikan?" tanyaku sok peduli. Ia terkekeh, "Harusnya aku yang nanya ke kamu. Udah gk sedih lagi, nih?"

Rasanya menyebalkan harus menjawab pertanyaannya dengan hidung yang masih membersit,

"Tolong jangan berbuat yang macam-macam," pintaku sambil menatapnya serius. Dia hanya tersenyum disertai dengan anggukan kecil, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

Hari itu adalah hari terakhir di mana Na Jaemin bersikap normal seperti biasanya.

Selebihnya dari hari itu, ia bersikap sangat aneh.

Ini memang terdengar tidak masuk akal, namun tidak dapat kupungkiri---aku merindukan healing smile dan ocehan receh dari seorang Na Jaemin.

Hari itu, ia berubah.

Bukan, maksudku bukan berubah seperti menjadi power ranger atau semacamnya.

Dia berubah menjadi pendiam seperti dahulu, lagi. Mulutnya seolah terkunci, sedang pikirannya tertuju pada sesuatu yang tidak pernah kuduga sebelumnya.









"Laut?"

"Ya, belakangan ini para penggemar sering mergokin Jaemin berbicara sendiri di dasar jurang---ke laut!" tukas Haechan menggebu-gebu. Kalau boleh jujur, memercayai kata-kata Haechan bisa dikatakan sulit, pasalnya 98% gosip yang beredar di sekolah bersumber dari orang yang sedang berbicara di hadapanku saat ini. "Kau yakin?" tanyaku setengah tidak percaya. Namun melihat wajah Haechan yang serius----tidak, terlampau serius, cukup meyakinkanku tanpa mendengar penjelasannya lebih lanjut.

"Hmm...biasanya, sih, dia pergi di hari... libur." lanjut Haechan, tampak mengingat keras dari raut wajahnya yang mengerut. Aku mengangguk-angguk tanda menyimak pembicaraan.

"Lalu? ada lagi yang kau tahu?" timpalku menagih informasi lebih lanjut. "Setahuku itu aja, sih, kalau ada info lanjut nanti aku hubungi, deh," ucap Haechan sambil mengacungkan jempolnya padaku. Aku tersenyum, "Makasih, Chan."

"Hehe, i-iya sama-sama,"













18.40 p.m

Haeeechan
Liv, asli, kmu g akan percaya
sama yng aku lihat.

Olivia

Apa??

Haeeechan

Jaemin ngejatuhin diri dari jurang!

---tbc

SirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang