9 - the end

7.4K 1K 165
                                    

"Setidaknya kita bersama, dalam jiwa dan raga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Setidaknya kita bersama, dalam jiwa dan raga. Dalam kehidupan dan dunia yang sama."




















"Aku tidak peduli. Yang jelas, nasib Olivia bagaimana?"

Nada bariton yang sayup-sayup terdengar dari luar kamar rawat inap Jaemin, berulang kali mengganggu perhatianku ketika menyuapi lelaki yang kini terduduk di atas bangsal dengan selang infus di tangannya. Menghela sejenak, kemudian berkata, "Maaf, Jaemin. Suara kak Jeno memang berisik. Mau kutegur?" kemudian ditanggapi dengan gelengan lemah olehnya, lalu berkata dengan pipi penuhnya, "Tidak perlu, tidak begitu mengganggu juga."

Sirip mengerikanku terlalu menjijikan untuk dilihat. Semenjak saat itu, kak Jeno menjahit long dress khusus untukku agar orang lain tidak curiga.

Terutama Mama.

Beruntung Mama bukanlah figur yang senang melontarkan banyak pertanyaan, nyatanya yang ia lakukan hanyalah mengangguk pelan tatkala melihat long dress ku yang bahkan terlihat gerah untuk dipakai di musim hujan seperti ini. Kak Jenopun membelikanku kursi roda, dan lagi-lagi harus berbohong ketika Mama bertanya apa yang terjadi pada kaki ku. Hanya kecelakaan kecil, katanya saat itu.

Kini wajahku tertunduk, menatap lantai dingin tak bernyawa di rumah sakit. Tak lama Jaemin bertanya, "Olivia, kamu gapapa? jangan-jangan tertular sakit..."

Pernyataannya lantas membuatku tertawa. Tertular katanya? bagaimana bisa ia memikirkan orang lain disaat tubuhnya dipenuhi dengan perban?

"Pikirkan dulu dirimu, Na Jaemin..." alih-alih menjawab pertanyaannya, kutatap ia dengan sejuta kata tak tersampaikan yang tergantung di rongga mulut. Kau terlalu naif, Na Jaemin. Berhenti memikirkan orang lain, itu salah satu yang ingin kusampaikan kepadanya.

Jaemin diam tak membalas, tak lama kemudian meringis sejenak ketika perban di tangannya tersangkut dengan dinding bangsal. Aku membelalak, merasa ngilu melihat tangannya yang penuh luka. "Kau tidak apa-apa?"

Lagi-lagi, lelaki itu tak membalas. Hanya gelengan pelan yang lagi-lagi kulihat.

Sungguh ambigu.

"Ada apa, Na Jaemin?" tanyaku curiga.

Untuk yang kesekian kalinya, ia bersuara.

"Ini hari terakhir kita bertemu, Liv..."


BRAKK

Kedua bola mata lelaki itu melebar ketika melihat diriku yang mendobrak bangsal miliknya secara tiba-tiba. Sungguh, mana mungkin aku menyakiti dirinya yang kini penuh dengan perban? hanya saja muak rasanya jika tiada hari tanpa masalah yang ia lontarkan kepadaku.

"Sebenarnya kau anggap aku ini apa, Na Jaemin?"

Ia menunduk---lagi-lagi, tak menjawab. Lantas aku hanya mendecih pelan sembari memalingkan wajah menatap jendela rumah sakit.

SirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang