8 - safe

5.3K 1.1K 50
                                    

Dukungan apapun yang kalian berikan tidak akan sia-sia, dan akan sangat saya hargai.

"Setiap orang punya kesalahannya tersendiri, dan jangan melebihi Tuhan hingga enggan memaafkan mereka yang mencoba untuk menebus kesalahannya terdahulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Setiap orang punya kesalahannya tersendiri, dan jangan melebihi Tuhan hingga enggan memaafkan mereka yang mencoba untuk menebus kesalahannya terdahulu."







Pukul sebelas malam, dan Jeno masih menunggu di dekat jurang tanpa balasan dari nomor tak dikenal yang ia dapat dua jam yang lalu. Mendekap jaket tebal miliknya, sebab cuaca malam ini menjadikan setiap hembusan nafas lelaki itu terlihat nyata. Mendengus pelan, raut wajahnya kentara sekali sedang kesal.

Satu jam berlalu dengan sia-sia, hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah dengan perasaan sedikit berkecamuk. Jeno juga merasa sedikit kesal dengan dirinya sendiri, mengapa juga ia mudah percaya dengan pesan dari orang tak dikenal?

"Ck, buang-buang waktu," ia melangkah kembali menuju motornya yang masih terparkir di dekat pohon Bungur. Namun ketika hendak menyalakan mesin motornya, iris tajamnya mendapati seorang laki-laki berjalan ke arahnya dengan langkah sedikit was-was. Melambai kecil ke arahnya, dengan surai pirang miliknya yang membelakangi sinar Sang rembulan. 

Dan saat itu Jeno tersadar, bahwa pesan yang ia terima bukan sekadar omong kosong belaka.

------------------ ----------------- -------------- ----------- --------- -------- ------ ----- --- -- -

"Kita terjebak..." desahan pelan terlontar dari bibirku, masih memikirkan seribu satu cara keluar dari tempat yang membuatku merasa bagaikan burung dalam sangkar. Tak henti-hentinya aku mengusap sirip panjangku yang terlihat mengerikan. Berwarna biru gelap hingga berangsur-angsur hitam, terlihat sedikit mengkilap dengan teksturnya yang dirasa sedikit licin.

"Maaf, harusnya aku bawa kamu pergi waktu itu," suara renyah itu kembali menguar di samping sel tahananku. Haechan mengetuk dinding bebatuan penghalang antar sel tahanannya denganku, nadanya terdengar sangat hampa, "Kamu gk marah?" tanyanya lagi, kali ini lebih terdengar seperti memohon. 

Lantas aku menggeleng---meski ia takkan bisa melihatnya, "Jangan tanya hal yang gk perlu untuk dijawab, Chan," sontak perkataanku membuat suasana sedikit lebih dingin. Lebih sunyi, lebih terasa mati.

"Jadi... selanjutnya gimana? apa aku bakal dijadikan Siren juga?" lelaki itu bertanya dengan nada yang lebih rendah, membuatku sedikit berfikir keras, namun lagi-lagi, hanya gelengan yang bisa kulontarkan. Haechan menganggap jawaban bisuku dari pertanyaannya sebagai iya. 

Kami sama-sama putus harapan, namun tetap berusaha untuk menghibur satu sama lain.

Ironis.

Api di lorong tahanan sedikit redup berkat angin yang berhembus dari pintu lorong. Bukan angin laut, melainkan kedatangan seseorang yang datang tergesa-gesa. Setelah sebelum munculnya Si surai pirang dari pintu lorong, sesosok laki-laki jangkung dengan air mukanya yang resah, kemudian datang menghampiri sel tahananku sembari meremat besi sel dengan erat.

SirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang