BAGIAN 2

1.2K 48 0
                                    

Matahari belum lagi condong ke Barat, ketika utusan Wira Perakin itu tiba. Rombongan itu terdiri dari delapan orang, dan dipimpin oleh Jaran Kedung. Wajah-wajah mereka tampak kasar dan bengis. Ki Sukirah menyambut mereka dengan tergopoh­-gopoh. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk merendahkan diri. Sedangkan Nyi Sukirah hanya memandanginya dari ambang pintu. Wajah perempuan itu jelas memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Kedatangan delapan orang berkuda itu menunjukkan Wira Perakin tidak main-main dengan niatnya mengambil Wulan.
Dan kedatangan mereka pastilah karena penguasa de­sa itu menginginkan ketetapan waktu pelaksanaannya.
"Oh silakan. Silakan tuan-tuan ke dalam," sambut Ki Sukirah membungkuk hormat.
"Hm ... ," Jaran Kedung mendengus sombong.
LaKi-laki bertubuh tinggi kekar itu melompat turun dari punggung kuda, dan ketujuh orang lalnnya pun
mengikutinya. Jaran Kedung melangkah tegap mengi­kuti Ki Sukirah yang berjalan mendahuluinya. Semen­tara Nyi Sukirah sudah menghilang dari ambang pintu. Hanya dua orang yang mengikuti Jaran Kedung  masuk ke dalam rumah. Ki Sukirah duduk bersila didampingi istrinya. Sementara ketiga orang utusan
Wira Perakin itu duduk di kursi. Berbeda dengan istri­nya yang tampak begitu cemas, Ki Sukirah seolah siap
menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ucapan dan sikap Wulan telah menyadarkan dirinya untuk tidak
menyerah begitu saja pada nasib yang akan menimpanya.
"Aku datang atas perintah Gusti Wira Perakin. Beliau menginginkan perkawinannya dengan putrimu
dipercepat," kata Jaran Kedung membuka suaranya lebih dulu.
Ki Sukirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan istrinya semakin mengkeret ketakutan. Nyi
Sukirah gelisah, dan duduk dengan sikap yang serba salah. Tatapan matanya tak lepas dari lantai di seputar dia duduk, tak berani dia menatap tamu-tamu yang tidak diharapkan kedatangannya ini.
"Kau harus memutuskan sekarang juga, kapan perkawinan itu akan dilaksanakan!" sambung Jaran Kedung.
“Maaf, Gusti Jaran Kedung. Bukannya aku tidak menghormati Gusti Wira Perakin. Tapi aku gagal membujuk anakku," sahut Ki Sukirah pelahan.
"Ki Sukirah!" sentak Jaran Kedung keras. Urat­urat matanya berkerut dengan tatapan yang tajam.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Anakku telah punya calon pilihannya sendiri, dan ...”
"Phuih!" dengus Jaran Kedung memotong ucapan lelaki tua itu. Dia berdiri bertolak pinggang mendekati
Ki Sukirah dan lstrinya. "Aku tidak peduli anakmu mau atau tidak! Tujuh hari lagi kau harus menyerahkan
anakmu! Aku yang akan menjemputnya!"
"Tapi, Gusti .... "
"Tidak ada alasan! Gusti Wira Perakin telah me­nyiapkan pesta perkawinannya dengan anakmu, dan
Gustiku telah mengundang kerabat-kerabatnya!"
Jaran Kedung langsung melangkah ke luar diikuti dua orang pengawalnya. Ki Sukirah tergopoh-gopoh
beranjak ke luar membawa kotak kayu berisi perhiasan tanda pinangan Wira Perakin pada putrinya.
"Gusti .... " panggil Ki Sukirah.
langkah Jaran Kedung tertahan. Tubuhnya urung meloncat ke atas punggung kudanya. Dia membalikkan wajahnya memandang Ki Sukirah yang mengham­pirinya.
"Aku mengembalikan ini pada Gusti Wira Perakin." kata Ki Sukirah menyodorkan kotak kayu berukir ltu.
Jarang Kedung mendelik geram. Dia membalikkan tubuhnya dan segera merampas kotak kayu itu dari tangan lelaki tua yang ada di hadapannya. Kemudian dia mengegoskan kepalanya sedikit sebelum naik ke
punggung kudanya. Dua orang bertubuh kekar yang tadi mengikutinya langsung mendekati Ki Sukirah.
Sret!
Hampir bersamaan dua orang itu mencabut golok­nya yang terselip di pinggang. Ki Sukirah terkejut, dia
melangkah mundur dengan tubuh agak gemetar. Dua buah golok itu berkilatan tertimpa sinar matahari.
Pelahan-lahan dua orang itu menghampiri Ki Sukirah
yang terus melangkah mundur. Tubuh lelaki tua itu mulai basah oleh keringat.
"Orang tua bodoh! Mau dikasih enak, malah minta penyakit!" dengus salah seorang.
Ki Sukirah tersentak begitu salah seorang lainnya melompat sambil mengibaskan goloknya. Ki Sukirah
berkelit sedtkit. Ilmu olah kanuragan yang pemah sedikit dipelajarinya kini tidak percuma. Tebasan golok
itu hanya menyambar angin. Bahkan tanpa diduga sa­ma sekali, kaki kanan Ki Sukirah melayang cepat
menghantam bagian perut penyerangnya.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek.
Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mun­dur dua tindak, bibimya menyeringai dan matanya me­natap tajam Ki Sukirah.
''Minggir ... !" mendadak Jaran Kedung melompat cepat dari punggung kudanya. Tangannya memutar-mutar tambang di samping kanannya. Sepasang kakinya bergerak menyusur ta­nah mengitari Ki Sukirah, dan tujuh orang lainnya se­gera berlompatan mengurung tubuh lelaki tua itu.
Wuuut..!
Jaran Kedung mengebutkan tambangnya. Ki Sukirah segera berkelit menghindari ujung tambang.
Namun tambang itu bagai bermata, ujungnya meliuk-liuk mengikuti ke mana lelaki tua itu berkelit menghindar.
Ki Sukirah memang bukan tandingan Jaran Kedung. Dalam beberapa gebrakan saja, tambang itu berhasil membelit pergelangan tangannya. Ki Sukirah sekuat tenaga berusaha melepaskan belitan itu, namun ujung tambang satunya segera menyambar pergelangan tangan kirinya. Jaran Kedung membetot keras, dan
tubuh Ki Sukirah tersentak jatuh bergulingan di tanah.
"Hiyaaa ... !" Jaran Kedung berteriak kencang.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya berlompatan mengitari tubuh Ki Sukirah yang bergulingan di tanah.
Tambang di tangan Jarang Kedung membelit kedua tangan lelaki tua itu. Gerakan tubuh Jaran Kedung lalu
terhenti, Dia berdiri tegak memegangi satu ujung tambang, Matanya tajam menatap Ki Sukirah yang telentang di tanah dengan kedua tangan terikat.
"Seret orang ini!" perintah Jaran Kedung. Dia melemparkan tambang yang dipegangnya pada salah seorang yang terdekat.
Orang yang menangkap tambang itu segera melompat ke punggung kuda. Ki Sukirah ikut tersentak ketika kuda digebah dengan kencang. Tapi tiba-tiba ....
Tasss!

10. Pendekar Rajawali Sakti : Pengantin BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang