BAGIAN 6

1K 47 0
                                    

Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan Demung Pari, Galang Gembul, salah seorang kepercayaannya bersama dua puluh pengikut lainnya tewas oleh hanya tiga orang anak muda. Begitu juga
dengan Arya Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima kenyataan kalau Galang Gembul dan kawan-kawannya begitu mudah dijebak.
"lni tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu harus mampus sebelum menjadi duri untuk
selamanya," kata Cakala Pati sengit.
"Benar! Kita harus cepat membereskannya,'' sambung Arya Mahesa.
"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira Perakin pada Demung Pari.
"Di hutan sebelah utara dari desa ini."
"Kau yakin?" desak Antasuro.
"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap. Dikelilingi oleh bukit-bukit batu yang mudah longsor. Kami terjebak di sana, dua puluh orang tewas tertimbun batu longsor."
''Kurang ajar!" geram Wira Perakin
"Apa tindakan kita selanjutnya, Wira Perakin? Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata Cakala Pati.
Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak jadi buntu. Kekalahan demi kekalahan telah
menimpa pihaknya. Sudah banyak orang-orang yang tewas hanya karena tiga anak muda yang membantu Sukirah. Wira Perakin seperti putus asa tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu selalu mengganggunya setiap saat, dia merasa ditantang untuk mendapatkan gadis itu.
"Kalian cari setan-setan itu! Pakai otak kalian sendiri.” ucap Wira Perakin keras.
Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang digunakan sebagai tempat pertemuan ini. Cakala
Pati, Arya Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang.
Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan diukan orangnya-orangnya. Dia langsung masuk ke kamar peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunngu seorang perempuan muda dan tampak genit. Wanita itu hanya melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya.
Wira Perakin tersenyum melihat tubuh indah tergolek di pembaringan. Wanita cantik itu tersenyum
menggerak-gerakkan tubuhnya, seolah menantang Wira Perakin untuk bertempur di atas ranjang.
'He he he ... ," Wira Perakin terkekeh. Kakinya melangkah mendekati wanita itu.
"Auh!" wanita itu memekik manja begitu tubuh Wira Perakin mulai menindihnya.
Dengan kasar dan tergesa-gesa, Wira Perakin menjambret kain yang menutupi tubuh wanita itu. Kedua matanya membeliak lebar melihat kemulusan kulit putih dari tubuh yang ramping itu.
Untuk sesaat Wira Perakin jadi melupakan keruwetan yang sedang dihadapinya. Napasnya memburu,
jari-jari tangannya menggerayang, menjelajahi lekuk-lekuk tubuh berbalut kulit putih mulus. Wanita itu cuma mendesah dan merintih membangkitkan gairah laki-laki tua itu.
Satu per satu pakaian yang melekat di tubuh Wira Perakin melorot jatuh ke lantai, Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan, yang ada hanya gerakan-gerakan lembut menghanyutkan. Wira Perakin menggelandang wanita cantik itu bagaikan boneka mainan yang cantik
dan menggairahkan. Pekik dan rintih kenikmatan terdengar memenuhi kamar yang cukup besar itu.
Keringat semakin banyak membasahi tubuh Wira Perakin. Dengus napasnya semakin memburu kencang. Laki-laki tua yang masih perkasa itu tidak lagi peduli dengan keadaan di luar. Dia benar-benar
menikmati permainan wanita cantik ini
"Aaah ... !" Wira Perakin mendesah panjang.
Kemudian tubuh tua yang masih kekar itu jatuh lunglai, menggelimang ke samping. Matanya terpejam
rapat dengan bibir menyunggingkan senyum kepuasan. Keringat masih membanjiri seluruh tubuhnya.
Wanita cantik itu menjumput kain dan menutupi tubuhnya dan tubuh Wira Perakin. Kemudian dia menaruh kepalanya di dada yang bergerak naik turun itu.

***

Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan tempat tinggal Wira PeraKin, tampak Rangga bersama Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di dalam sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka jendela kamar, agar bisa mengamati keadaan di luar. Dan tiba-tiba terdengar pintu kamar
diketuk dari luar.
Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia membuka pintu pelahan-lahan dan mengintip
ke luar, kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali pintu itu. Dia masih berdiri di pintu yang sudah tertutup. Rangga berdiri bersandar di
samping jendela yang terbuka, sedangkan Pandan Wangi duduk di kursi tidak jauh dari jendela.
''Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya Dimas.
"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang kemari tadi, mereka menanyakan kalian bertiga," sahut Ki Parung, pemilik penginapan ini,
"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi.
"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini."
"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat.
"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini. Mereka dipimpin oleh Demung Pari. Juga seluruh desa ini selalu diawasi, Wira Perakin sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai," tutur Ki Parung.
"Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta pendapat pada Rangga.
"Kau pancing mereka ke luar desa, aku dan Dimas akan menunggu di sana." Rangga membuka suara.
"Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan Wangi.
"ltu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang saudara Wira Perakin itu, syukurlah bila dia
sendiri ikut terpancing."
"Terlalu berbahaya ... , " gumam Dimas tidak menyetujui.
"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira Pera kin tidak akan melepaskan wanita cantik
begitu saja. Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan cantik! Bahaya sekali, Nona!"
"Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak perlu khawatir," kata Rangga sambll melirik Pandan Wangi.
"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan," sambung Pandan Wangi.
"Tapi ... ," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi dijadikan umpan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka menjamah tubuhku, kipas mautku akan bicara lebih dulu," sergah Pandan Wangi cepat.
"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera ke batas desa sebelah timur, Dimas. Aku sendiri akan menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih atas bantuanmu, Ki Parung."
"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang mengucapkan terima kasih pada kalian, karena orang-orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk," balas Ki Parung.
Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiarkan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar bersama lelaki tua pemilik penginapan ini.
Rangga memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung melompat ke luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup Jendela kamar itu.
Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya, dan baru
berhenti di atas tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa orang dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok itu. Begitu sempumanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi, hingga tak seorang pun yang mengetahul kehadirannya.
"Aku harus memandang Wira Perakin, itu yang paling penting daripada yang lainnya," gumam Pandan Wangi dalam hati,
Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera melompat turun dari atas atap. Namun begitu kakinya
menjejak tanah, sebatang tombak meluncur ke arahnya. Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya.
sehingga tombak itu lewat di samping pinggangnya.
"He he he ... , rupanya ada kelinci cantik menyusup ke sarang macan.” Wira Perakin muncul dari balik pohon.
Pandan Wangi terkejut, Dia tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui dengan cepat oleh
laki-laki tua yang masih tegap ini. Belum hilang rasa terkejutnya, muncul lagi tiga orang laki-laki yang sebaya dengan Wira Perakin.
"Hm ... , '' Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya melihat gambar kala hitam besar di tangan mereka. "Pasti orang-orang ini yang dicari Dimas."
"Suiiit. .. !" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring.
Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan pedang terhunus. Mereka rata-rata memegang
senjata sejenis golok yang besar berkilatan ditimpa sinar matahari. Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini. Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang berjumlah sekitar dua puluhan itu kini telah mengepungnya.
"He he he ... , cantik sekali kelinci ini," kata Wira Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu pada Pandan Wangi.
"Hati-hati Wira Perakin,” bisik Cakala Pati mengingatkan.
"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!"
Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh orang itu segera melompat maju ke depan. Gadis itu segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang.
"Majulah kalian semua!" dengus Pandan Wangi.
''Hiyaaa .. .!"
"Hiyaaa .. .!"
Orang-orang yang mengenakan seragam kuning keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan Wangi. Pandan Wangi pun siap siaga. Dengan kipas maut di tangan, dia langsung mengamuk bagaikan singa betina yang diganggu tidurnya. Dan tak tanggung-tanggung lagi, Pandan Wangi langsung mengeluarkan jurus-jurus saktinya.
Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang sudah meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu persatu orang-orang yang mengeroyoknya bergelimpangan tersambar ujung kipas baja yang berkelebatan cepat
dan sulit dilkuti mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi. Dan dalam waktu yang singkat, pengeroyoknya hanya tinggal lima orang.
"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orangnya nyaris terbabat habis.
Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk Pandan Wangi. Demung Pari segera melompat
sambil berteriak nyaring.
"Mundur ... !"
Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur. Pandan Wangi melintangkan kipas baja saktinya
ke depan dada. Kedua bola matanya tajam menatap Demung Pari yang sudah menghunus senjatanya
berupa golok besar berwama hitam.
''Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma saja kau melawan," kata Demung Pari.
"Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepalamu kupisahkan dari badan!" sentak Pandan Wangi sengit.
"Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang indah," dengus Demung Pari menggeram.
Demung Pari melenting sambil mengibaskan goloknya ke arah Pandan Wangi. Gadis itu memutar tangannya menghadang sabetan golok Demung Pari.
Trang!
"lkh!" Demung Pari kaget bukan main.
Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian tulang lengannya terasa nyeri. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam yang tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia
tak mau lagi menganggap enteng lawannya.
"Kubunuh kau, Setaaan ... !"
"Uts!"

***

Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi Rangga dan Pandan Wangi belum muncul juga. Dimas masih mengawasi jalan yang seharusnya ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin dan orang-orangnya keluar sarang. Tapi
jalan itu tetap saja terlihat sepi, tak seorang pun terlihat melintasinya.
Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan terbang, sebentar saja dia sudah berada di depan Dimas.
''Bagaimana ... ?" tanya Dimas tak sabar.
"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur napasnya.
"Maksudmu?" Dimas tak mengerti.
''Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari rencana semula."
"Celaka!'' seru Dimas.
"Kita tunggu saja beberapa saat di sini."
Dimas terlihat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga, tapi…
"Ki Parung ... ?" desis Rangga mengenalinya.
Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda yang ditunggangi Ki Parung meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu Rangga tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki Parung tidak jatuh.
Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya.
Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur peluh. Laki-laki tua pemilik penginapan itu tersengal-sengal saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegang tali kekang kuda.
"Ah, oh ... !" Ki Parung maslh tersengal napasnya.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas.
"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal-sengal.
"Apa yang tetjadl?" desak Dimas.
'Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki Parung mulai terdengar tenang.
"Bagaimana bisa begltu?" Rangga tidak percaya.
"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang melaporkan rencana kita."
"Bajingan!" geram Dimas.
"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga bertanya cemas.
"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin ditarik pulang. "
"lni sangat berbahaya! Kemungkinan besar Pandan Wangi pergi ke rumah itu," gumam Dimas.
Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke rumah itu. Masalahnya jadi lain sekarang, sudah
pasti Wira Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera
melompat meninggalkan tempat itu.
"Rangga ... ! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat mengikuti.
Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat menyaksikan dua orang muda yang berilmu tinggi
itu berloncatan cepat bagai tetbang. Dia segera sadar dari rasa kagumnya, kemudian cepet-cepat naik ke atas punggung kuda. Kuda putih itu pun segera digebahnya.
Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyusul langkah Rangga. Tapi walaupun dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh lebih tinggi.
"Rangga, tunggu ... !" tertak Dimas terengah-engah sambil terus mengejamya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempedulikannya. Dia terus saja berlompatan menuju rumah besar tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para pengawal si tua bangka itu telah ditarik kembali ke sana. Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu keadaannya sangat berbahaya sekali. Sama saja dia menerobos sarang macan yang
sudah siap menerkamnya.

***

10. Pendekar Rajawali Sakti : Pengantin BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang