BAGIAN 4

1.1K 49 0
                                    

Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui pintu yang tak tertutup rapat itu menerpa wajahnya. Kehangatan yang dia rasakan mulai membangunkan kesadarannya dari pingsan yang cukup panjang. Wulan
pelahan-lahan membuka matanya, dan dia begitu terkejut menyadari keberadaannya di tempat asing yang belum pemah dia kenal sama sekali,
Pikiran Wulan mulai meraba-raba. Dia mulai teringat kejadian yang terakhir kali dialaminya, dan tahu-tahu dia sudah berada di tempat ini. Sedikit demi sedikit gadis itu beringsut bangun, dan duduk di tepi
balai-balai bambu itu. Sepasang matanya menangkap buntalan kain yang dibawanya dari rumah. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya diliputi tanda tanya, siapa gerangan orang yang telah menyelamatkan nyawanya dan membawanya kemari.
Belum lagi dia sempat menduga-duga, pintu bilik yang tak tertutup rapat itu pelahan lahan terkuak.
Wulan bertngsut ke sudut. Tangannya mendekap buntalan berisi kain dan sedikit bekalnya. Pintu bilikitu semakin terbuka lebar. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang lelaki muda dan tampan dengan pakaiannya serba putih dan ketat, hingga postur tubuhnya yang tegap dan kekar begitu mudah dikenali oleh
Wulan.

"Kang ... !" desis Wulan begitu mengenali laki-laki.
Wulan segera melompat dan menubruk pemuda tampan itu. Air matanya seketika tumpah di dada lelaki muda itu, yang tak lain adalah Dimas. Pemuda tampan itu hanya membelai-belai rambut kekasihnya. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling perpelukan diselingi oleh isak tangis Wulan.
Dimas melepaskan pelukan gadis itu, dan membawanya duduk di tepi pembaringan. Sejenak mereka hanya saling pandang. Dengan lembut Dimas mengusap air mata di pipi yang halus kemerahan itu. Wulan membiarkan saja jari-jemari kekasihnya menghapus air matanya.
"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa tidak pulang­-pulang?" tanya Wulan lirih suaranya.
"Maafkan aku, Wulan. Bukan aku tak rindu padamu, tapi pekerjaanku belum selesai," sahut Dimas lembut.
"Aku tidak tahan lagi, Kakang. Aku terpaksa kabur dari rumah, aku ingin bersemamu," rintih Wulan kembali terisak.
"Sudahlah, sekarang kau sudah aman bersamaku. Kita bisa hidup damai dan tenteram di sini," hibur Dimas tetap lembut.
Secercah senyum kini tersungglng di bibir gadis itu. Dimas membalasnya dengan manis pula. Pelahan­-lahan wajah mereka yang saling beradu pandang itu semakin mendekat, hingga desah napas Dimas menerpa hangat di seputar wajah Wulan. Kedua pasang mata mereka saling bertatapan dengan mesra.
"Wulan…” desah Dimas bergetar.
"Kakang !"
Pelan dan lembut sekali Dimas menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu yang terbuka merekah. Mata
Wulan terpejam merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuh dan urat syarafnya. Tangannya melingkar di leher Dimas, dan menekannya kuat-kuat, hingga bibir mereka bersatu dalam gairah yang semakin menggelegak.
Tak ada lagl kata-kata yang terucap. Tak ada isak tangis keharuan, yang ada kini hanyalah rasa cinta dan
kerinduan yang menyatu dalam daya asmara yang semakin memburu. Wulan merintih merasakan kenikmatan yang membawanya melayang-layang terbang mengarungi lautan asmara, Mata gadis itu terbuka dan tertutup, menandakan hasrat birahinya yang sangat mendidih.
"Kakang ... !" tiba-tiba Wulan tersentak begitu merasakan jari-jari tangan Dimas menyentuh bagian dari
tubuhnya yang sangat peka.
Seketika itu juga Wulan menyentakkan tubuh Dimas. Gadis itu begitu terkejut menyadari hampir seluruh pakaiannya terlepas. Bergegas gadis itu membereskan pakaiannya yang sudah tak karuan dan nyaris membuatnya telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan bergetar.
'Wulan ... , aku mencintaimu," bisik Dimas seraya mendekat.
"Tapi ... ," suara Wulan tersekat di tenggorokan.
"Kau mencintaiku juga, kan?"
Wulan tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia akan pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini kalau
dia tak mencintainya. Tapi apakah yang barusan diinginkan oleh Dimas itu ukuran dari perasaan cinta dan kasih sayangnya. Tidak, bisiknya dalam hati. Ia tak mau melakukan hal terlarang itu sebelum mereka terikat resmi menjadi suami istri. Wulan tak ingin penderitaan hidupnya terus berkepanjangan. hanya karena menuruti nafsu birahi sesaat.
"Aku mencintaimu, Wulan. Aku berjanji, kalau tekadku sudah tercapai, aku pasti akan menikahimu," Dimas berucap lembut.
"Tapi, Kakang ... ," suara Wulan kembali tersekat di tenggorokan.
"Baiklah ... ," desah Dimas mengalah.
Wulan hanya memandangi Dimas yang mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pemuda itu ke luar kamar tanpa berkata apa-apa lagi. Wulan duduk tepekur di balal-balai bambu. Dia sadar penolakannya telah mengecewakan hati Dimas.
“Ah .. , Kakang Dimas ... , maafkan aku," desah Wulan lirih.

10. Pendekar Rajawali Sakti : Pengantin BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang