BAGIAN 7

1.1K 47 0
                                    

07
Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi. Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka Naga Geni. Pedang itu memancarkan sinar merah yang berkelebatan mengurung tubuh
Demung Pari. Dengan dua senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindari serangan-serangan yang cepat dan berbahaya dari Pandan Wangi. Sudah puluhan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan Wangi mulai berada di atas angin. Gadis itu
tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya
untuk balas menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang geraknya semakin sempit.
beberapa kali dia harus jatuh bangun menghindari serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi.
"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi bertenak keras.
Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke udara, tangan kirinya mengibas seraya merentangkan kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari mengangkat goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi malah menuju bagian bawah.
'"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras.
Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat membabat perut Demung Pari. Demung Pari mengeluh sejenak. Lalu tubuhnya menggelosor ke tanah.
Orang-orang yang berada di sekitarnya bergumam ngeri melihat perut Demung Pari hampir terbelah dua.
Pandan Wangi berdiri tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung. Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu.
Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa terlihat menarik napas panjang. Dalam hati mereka mengakui kehebatan Pandan Wangi.
Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat orang yang berdiri berdampingan. Pandangan
matanya berurutan menatap keempat orang itu satu per satu. Gadis ini tahu, keempat orang di hadapannya
tentu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya.
"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum menang," kata Wira Perakin jujur memuji.
Pandan Wangi hanya tersenyum sinis.
"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin.
"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk hormat. Dia melangkah maju dua tindak.
"Keluarkan algojoku!"
"Segera, Gusti."
Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi tidak mengerti maksud Wira Perakin, tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah berpindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada. Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut nyawa.
Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa kemudian muncul mengiringi langkah Jaran Kedung.
Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi bagian bawah pusamya. Dadanya penuh ditumbuhi rambut hitam keriting. Makhluk ini benar-benar bagaikan raksasa. Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa.
"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira Perakin. "Nah, dia kuserahkan untukmu!"
"Grrr ... !" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu menggeram keras. Matanya yang bulat merah menatap ganas pada Pandan Wangi.
"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin.
"Ha ha ha ... !" Buto Gendeng tertawa terbahak­-bahak.
Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang tinggi besar dan kasar itu. Dia menyumpah pada Wira Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi dirinya. Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika manusia yang bagai orang utan
itu mendekati. Di tangan kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari paha orang dewasa.
"Ha ha ha ...! Cantik ... , cantik sekali ...!" Buto Gendeng terbahak-bahak kegirangan menerima hadiah yang sangat menyenangkan hatinya.
"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus Pandan Wangi. Gadis itu telah menguatkan hatinya untuk menghadapi calon lawannya.
"Graaakhg ... !" Buto Gendeng menggeram dahsyat.
"Ha ha ha ... ! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng," teriak Wira Perakin sambil tertawa terrbahak-bahak.
Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu. Tak ada pilihan lain baginya, bagaimanapun juga, dia harus membunuh manusia raksasa itu. Dia segera mencabut pedang pusakanya.
"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira Perakin.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu memberikan isyarat agar semua orang menyingkir. Dia
sendiri kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa, Tapi Wira Perakin
mendadak menghentikan langkahnya, dan tidak jadi masuk ke dalam. Lelaki ltu membalikkan badannya.
"Hm ... , aku merasakan ada tamu yang tak diundang," gumam Wira Perakin pelahan.
"Siapa?" tanya Cakala Pati.

10. Pendekar Rajawali Sakti : Pengantin BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang