BAGIAN 2

1.2K 49 0
                                    

Ki Jatirekso menggeram hebat menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di halaman. Tidak kurang dari dua puluh orang terbujur bersimbah darah. Hanya ada satu luka yang terdapat di setiap mayat,  tapi sangat lebar dan mematikan. Ki Jatirekso membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke rumahnya,  diikuti oleh Suryadenta dan tiga orang adiknya. Sementara Jaka Wulung membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan dibantu oleh beberapa orang penduduk.
Di dalam rumah sudah menunggu Ki Karangseda, Ki Pungkur, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Mereka memandang Ki Jatirekso yang datang bersama empat bersaudara. Kemudian mereka duduk menghadapi meja bundar yang besar dan beralaskan batu pualam putih yang berkilauan bagai kaca.
"Sebaiknya kau berterus terang saja, Ki Jatirekso. Apakah kau menginginkan seluruh penduduk desa ini habis, hanya karena keangkuhanmu?" dingin dan bergetar suara Ki Karangseda.
Ki Jatirekso menatap tajam pada laki-laki yang usianya sebaya dengannya itu. Suasana tegang   menyelimuti ruangan yang luas itu. Kematian dua puluh orang penjaga, membuat para tetua Desa Kali Anget  memuncak amarahnya. Lebih-lebih melihat kepala desa yang seperti menyimpan satu rahasia, yang menyebabkan semua tragedi ini.
"Sebenarnya, ada apa di balik semua  ini?" tanya Ki Pungkur.
"Katakan yang sebenarnya, Ki. Kami semua berada di pihakmu," desak Sanggabawung.
"Kecuali kalau persoalannya sangat  pribadi, aku lepas tangan," sambung Ki Karangseda.
"Maaf, aku mau istirahat dulu," kata Ki Jatirekso seraya bangkit.
"Ki...!" sentak Ki Karangseda gusar.
Ki Jatirekso menatap tajam pada Ki Karangseda, kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Mereka memandang dengan penuh keheranan pada sikap ke pala desa itu. Pasti ada sesuatu yang sangat berat telah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang kini sudah meminta korban yang cukup banyak.

Brak!
Ki Karangseda menggebrak meja dengan keras. Kedua bola matanya merah berapi-api. Dia menatap satu persatu wajah-wajah yang juga menatapnya.
"Keadaan ini, tidak bisa kita biarkan terus! Apa kita akan berpangku  tangan terus melihat penduduk satu  per satu mati?" suara Ki Karangseda penuh emosi.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa,  sebelum mengetahui permasalahan yang sebenarnya," kata Suryadenta kalem.
"Sudah jelas, semua ini ada hubungannya dengan Ki Jatirekso. Apalagi yang harus diketahui?" sentak Ki Karangseda.
"Banyak!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.
Semua kepala langsung menoleh.    Jaka Wulung melangkah ke arah  mereka, matanya menatap tajam Ki Karangseda yang bertopang pada bibir meja. Jaka Wulung berhenti dan berdiri di belakang empat bersaudara. Sejenak dia mengawasi wajah di depannya satu per satu.
"Masih banyak yang perlu diketahui,  tapi bukan dari sebab ayahku," kata Jaka Wulung datar suaranya.
"Kau tahu, kenapa tidak mengatakan dari semula?" nada suara Ki Karangseda terdengar sinis.
"Kenapa bukan kau saja yang  mengatakan, Ki?" balas Jaka Wulung tidak kalah sengitnya.
Ki Karangseda tersentak. Seketika wajahnya berubah merah padam. Sementara sinar matanya masih tajam menatap Jaka Wulung. Tapi Jaka Wulung membalasnya
dengan tidak kalah tajam.
"Kalian pasti mengenal senjata ini. Di desa ini, cuma ada satu yang punya!" Jaka Wulung melemparkan ruyung perak ke atas meja.
Semua mata menatap ruyung perak itu, lalu beralih ke arah Ki Karangseda. Meskipun ayahnya tidak pernah menceritakan, tapi Jaka Wulung bisa mengenali, milik siapa senjata itu. Dia mengambilnya saat dibuang oleh ayahnya bersama daun  lontar yang bertuliskan huruf  berwarna merah. Dia juga menunjukkan daun lontar yang sudah lusuh diremas ayahnya.
Makin merah muka Ki Karangseda, melihat tulisan yang tertera di daun lontar itu. Dia mundur satu tindak. Sementara mereka yang ada di  ruangan menatap tajam minta penjelasan pada Ki Karangseda.
"Untuk apa kau melemparkan senjata pada kami?" tanya Jaka Wulung dingin dan datar.
"Senjata itu memang milikku, tapi bukan aku yang melemparkan," bantah Ki Karangseda gusar.
"Di mana saja kau, sepanjang siang  ini?" tanya Jaka Wulung seperti menghakimi.
"Aku bersama Ki Pungkur," sahut Ki Karangseda.
"Benar, sejak pagi sampai sekarang, dia bersamaku di kedai Ki Rahim," Ki Pungkur membenarkan. "Bahkan Sanggabawung dan Sanggakelana juga ada di sana."
Jaka Wulung menatap kakak beradik  yang disebutkan namanya. Mereka menganggukkan kepala membenarkan. Sementara Ki Karangseda tersenyum tipis penuh kemenangan memandang Jaka Wulung.
"Sebaiknya, persoalan ini jangan  diperpanjang. Masih banyak persoalan berat yang harus segera ditangani," kata Ki Pungkur melerai.
"Hm...," Jaka Wulung bergumam sinis.
"Aku permisi dulu," pamit Ki Pungkur seraya bangkit.
Ki Karangseda juga meninggalkan ruangan itu, mengikuti langkah Ki Pungkur yang sudah sampai di pintu. Tidak lama sesudah kedua laki-laki tua itu berlalu, Sanggabawung mengajak adiknya meninggalkan ruangan juga. Sejenak dia memandang Jaka Wulung, lalu menepuk pundaknya. Kemudian  melangkah ke luar. Kini tinggal Jaka Wulung, Suryadenta dan ketiga adiknya.
"Kapan kau menemukan senjata ini?" tanya Tirtadenta setelah cukup lama berdiam diri.
"Tadi, sebelum, kutemukan dua puluh orang penjaga tewas," sahut Jaka Wulung seraya duduk di samping Suryadenta.
"Berarti baru saja," gumam Suryadenta pelan.
"Ya. Senjata itu diarahkan padaku," sambung Jaka Wulung.
"Hm..., di desa ini, memang hanya Ki Karangseda yang memiliki senjata seperti itu, tapi sekarang ini kan banyak tokoh-tokoh rimba persilatan di sini. Dan tidak mustahil ada di antara mereka yang memiliki senjata seperti ini," Mayadenta agak bergumam mengemukakan pendapatnya.
"Jenis senjata memang  bisa sama,  tapi pasti ada ciri khas tersendiri untuk mengenali siapa pemiliknya," bantah Bayudenta.
"Benar!" seru Suryadenta.
Kakak tertua dari empat bersaudara  itu mengambil ruyung perak yang tergeletak di meja. Sejenak diamatinya benda itu, lalu memberikannya pada ketiga adiknya.
"Ukiran bunga melati menandakan, kalau ruyung perak ini milik Ki Karangseda," kata Suryadenta.
"Ya, bunga melati lambang keperkasaannya. Aku yakin, tak seorang pun selain Ki Karangseda yang memiliki senjata berukir bunga melati," sambung Mayadenta.
"Hm..., kalau begitu, apa maksud perbuatannya?" gumam Bayudenta.
Sesaat mereka semua hanya terdiam. Macam-macam pikiran dan dugaan berkecamuk di kepala mereka. Sesekali mata mereka menatap kembali ruyung perak dan lembaran daun lontar di atas meja. Sulit untuk mencari alasan yang tepat, dengan mengkaitkan keterlibatan Ki Karangseda dalam masalah ini.

11. Pendekar Rajawali Sakti : Jago-Jago BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang