BAGIAN 3

1.1K 49 0
                                    

Ki Karangseda tampak  bersungut-sungut ketika keluar dari rumah kepala desa. Sorot matanya tajam menatap Mayadenta dan Tirtadenta yang melintas di halaman rumah. Sejenak mereka saling tatap,  kemudian Ki Karangseda terus melangkah diikuti Ki Pungkur. Mayadenta masih menatap ke arah kedua laki-laki tua itu, dan baru melangkah ketika tangannya digamit Tirtadenta.
Dua bersaudara itu terus melangkah masuk melewati ruang depan yang sepi. Tak lama kemudian, mereka melihat Jaka Wulung sedang duduk termenung sendirian di ruang tengah. Jaka Wulung segera mengangkat kepalanya, begitu mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Sementara Mayadenta dan Tirtadenta langsung  duduk  di depan putra kepala desa itu, tanpa menunggu dipersilakan lebih dahulu.
"Barusan aku melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur," kata Tirtadenta membuka suara lebih dulu.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Jaka Wulung.
"Tidak ada," sahut Mayadenta sambil menggeleng. "Tapi nampaknya mereka gusar. Ada apa?"
"Mereka mendesakku," sahut Jaka Wulung pelan. Ada kegelisahan di wajahnya.
"Apa yang mereka inginkan?" tanya Mayadenta mau tahu.
"Kepala!"
"Kepala...?!" Mayadenta dan Tirtadenta kaget bukan main. Untuk beberapa saat mereka saling tatap satu sama lainnya.
"Kepala siapa?" tanya Mayadenta dengan kening berkerut.
"Pendekar Rajawali Sakti!"
Bagai disambar petir di siang bolong, Mayadenta dan Tirtadenta terlonjak saking kagetnya. Kembali  mereka saling tatap. Untuk beberapa lama, tidak ada yang bicara sedikit pun. Tirtadenta makin tidak mengerti, mengapa Ki Karangseda dan Ki Pungkur menginginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti? Apakah mereka tidak bisa mengukur tingginya gunung dan dalamnya lautan?
Semua orang tahu, siapaPendekar Rajawali Sakti. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, tapi kabar yang mereka dengar cukup membuat bulu kuduk merinding. Sampai saat ini, belum ada seorang tokoh pun yang mampu menandingi kesaktiannya. Lalu, bagaimana mungkin bisa memperoleh kepalanya?
"Apa yang diinginkan Ki Karangseda dengan kepala pendekar itu?" tanya Tirtadenta.
"Aku tidak tahu. Tapi  dia terus mendesakku, agar mencari dan memenggal kepala pendekar itu," sahut Jaka Wulung lesu.
"Kenapa harus kau?" desak Mayadenta bimbang.
"Aku..., aku...," Jaka Wulung tampak   kebingungan menjawab. Tirtadenta dan Mayadenta saling berpandangan. Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diri putra kepala desa itu. Kelihatannya Jaka Wulung tidak berdaya menghadapi desakan Ki Karangseda. Ada rahasia apakah sebenarnya di balik semua ini? Pertanyaan itulah yang terus mengganggu pikiran Tirtadenta dan adiknya selama ini.
"Katakan, Jaka! Kenapa Ki Karangseda menginginkan kau yang menghadapi Pendekar Rajawali Sakti itu?" desak
Tirtadenta.
Jaka Wulung masih kebingungan untuk menjawab. "Apakah dia mengancammu?" tanya Mayadenta mendesak juga.
Jaka Wulung tetap diam saja.  Lidahnya terasa kaku untuk diajak  bicara. Hanya matanya yang  berputar-putar menatap dua wajah di depannya.
"Kau tidak bisa hanya dengan diam  seperti itu, Jaka. Keadaan desa ini makin kacau dan makin banyak korban yang jatuh. Apakah kau ingin  menambah  korban  lagi?" Tirtadenta tidak sabar lagi.
"Aku tidak bisa mengatakannya,   sebaiknya kalian tanyakan langsung pada Ki Karangseda!" jawab Jaka Wulung seraya bangkit, dan melangkah menuju kamarnya.
"Jaka Wulung...!" sentak Tirtadenta.
Namun Jaka Wulung seakan tidak mendengar dan terus
melangkah meninggalkan dua bersaudara itu. Tirtadenta bangkit ingin mengejar, tapi tangannya keburu dicekal adiknya. Terpaksa dia diamkan saja Jaka Wulung masuk ke dalam kamarnya.
"Dari tadi, aku tidak melihat Ki Jatirekso. Di mana dia?" kata Tirtadenta setengah bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Mayadenta nampak tersentak. Dia juga baru sadar, kalau
dari tadi tidak melihat Ki Jatirekso. Secepat kilat dia melompat dan menerjang pintu sebuah kamar yang tertutup rapat. Ternyata kamar yang biasa ditempati Ki Jatirekso itu kosong melompong. Bahkan keadaannya berantakan bagai kapal pecah yang baru diamuk badai.
Melihat keadaan ini Mayadenta segera menuju ke depan pintu kamar  Jaka Wulung. Kemudian diketuknya  keras-keras pintu kamar itu. Tapi tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Sejenak gadis itu memasang telinganya tajam- tajam, dan tetap tidak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sementara Tirtadenta yang tidak sabar, langsung mendobrak pintu itu.
Brak!
"Jaka...!" teriak Tirtadenta keras-keras.
Rasanya belum begitu lama Jaka Wulung masuk ke kamar. Tapi  mengapa kamar itu kosong?  Sedang jendelanya juga tertutup rapat.
"Aku rasa, dia keluar lewat jendela," kata Mayadenta sambil membuka jendela yang tidak terkunci.
Menyadari keadaan rumah itu sudah kosong, mereka langsung keluar lewat jendela. Tapi begitu kaki mereka menjejak tanah, tiba-tiba dua bayangan meluncur ke arah mereka. Ternyata Suryadenta dan Bayudenta yang datang.
"Tidak lihat Jaka Wulung?" tanya Mayadenta langsung ke sasaran.
"Tidak...," sahut Suryadenta menggelengkan kepala. "Memangnya ada apa?" tanya Bayudenta tidak mengerti. "Ki Jatirekso menghilang," sahut Tirtadenta.
"Dan Ki Karangseda mendesak Jaka Wulung agar memenggal kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Jaka Wulung tidak mau mengatakan yang sebenarnya, malah kabur lewat jendela kamarnya," lanjut Mayadenta menyambung.
"Gila! Permainan apa pula ini?" dengus Suryadenta.
"Apa orang asing itu sudah tiba di sini?" tanya Bayudenta.
Tirtadenta dan Mayadenta menggelengkan kepala sambil berpandangan. Mereka tadi cuma melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur keluar dari rumah itu. Sementara di dalam cuma ada Jaka Wulung sendirian. Dan tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu.

11. Pendekar Rajawali Sakti : Jago-Jago BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang